Sabtu, 23 Juli 2011

Arena curhat

seperti yang kita ketahui kalau semua manusia itu tidak pernah yang namanya akan terhindar dari segala permasalahan...

tinggal bagaimana kita dapat menyelesaikan masalah-masalah itu dengan sebaik-baiknya...
dengan media ini bagi teman-teman yang membutuhkan saran dari masalah-masalah anda silahkan saja dan saya akan membantu dengan semaksimal mungkin...semoga bisa membantu ya....

Senin, 18 Juli 2011

DETIK-DETIK

DETIK,,DETIK

Aku terdampar di sini, terasa mati membeku. Tak pernah aku merasakan sakit yang begitu menusuk jauh ke dalam hati ku. Aku tidak lagi merasakan kehangatan itu, kini hanya angin dingin sunyi yang menyapa tanpa seulas senyum dari langit ku yang cerah. Langit itu kini buram termakan oleh gelapnya malam yang tak pernah ku undang kedatangannya. Tak ada cahaya lagi untuk malam ku yang gelap. Aku kini bagaikan menyusuri lorong gelap yang tak pernah berujung. Hati ku sakit menahan sembilu yang terasa menancap jauh dalam lubuk hati ku, menggoreskan luka yang begitu dalam, luka yang kini sedang berusaha ku sembuhkan...
Aku cukup puas dengan curahan hati ku, walau masih terasa shock, namun aku mencoba untuk tetap tegar. Walau sakit dan pahit, aku tetap berusaha untuk tetap tersenyum demi seorang bunda dan adik ku tersayang. Keduanya begitu berharga, aku tidak akan rela menukarnya dengan apa pun di dunia ini. Bahkan aku rela menukar kebahagiaan mereka dengan nyawa ku sendiri, ya aku rela demi mereka. Bunda dan adik ku tercinta.
“Nani turun!! ada Mia di bawah”. Panggilan bunda memaksa ku untuk segera pindah dari dunia ku. Aku segera beranjak dari depan laptop menuju ruang tamu. Sambil berlari kecil aku menuruni anak tangga satu persatu, sempat ku cubit pipi tembem adik ku Tata, lalu berlari ke ruang depan.
“Kak Nani jahil!!!”. Tata berteriak kesal sambil berusaha memukul betis ku.
“Hahaha...!! ndak kena, weeee..”.
“Bunda!!! Kak Nani nakal!”.
“Nani jangan goda adik mu terus”.
“Ya, ya, dikit aja kok bunda, hehehe..maaf deh maaf”. Aku mencium pipi bunda dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang. Aku sayang bunda!  karena bagi ku bunda adalah segala-galanya semenjak ayah meninggal dua tahun yang lalu. Walaupun kami begitu kehilangan beliau, tapi bunda tetap mencontohkan jiwa yang tegar dan mandiri dalam menghadapi hidup ini. Aku benar-benar bersyukur mempunyai orang tua seperti bunda dan ayah ku. Bagi ku keduanya adalah contoh orang tua yang sangat bijak.
“Hayo lagi ngelamunin apa!?”. Aku tersentak saat Mia menepuk punggung ku dari samping. “Ngelamunin apa non?”.
“Enggak ada kok, udah ah, yuk jalan! Entar kita telat lagi”. Segera ku gandeng tangan Mia keluar rumah setelah sebelumnya sempat mencium tangan bunda dan mengucapkan salam lalu mengusap kepala adik ku dengan gemas.
Musim hujan yang menyapa kali begitu dingin seperti hati ku yang membentuk segumpal batu es yang lama kelamaan menjadi beku. Jauh ku sembunyikan dari dunia luar agar tak seorang pun tahu, cukup hanya aku yang tahu tempat ini, tempat yang mungkin hanya aku yang akan tahu kapan episode terakhir pembentukan karang es dalam dunia ku. Angin kali ini begitu dingin menembus hingga ke tulang ku. Begitu angin dingin berhembus kami segera memasukan tangan ke dalam saku sweater. Kendaraan lalu lalang di jalan raya, aku dan Mia merapatkan badan, berdiri di halte bis  menunggu bis berikutnya yang datang. Tapi sudah hampir 30 menit kami menunggu, bis yang kami tunggu tidak kunjung datang, sehingga kaki kami terasa keram karenanya.
“Fiyuh...brrrr...mana sih bisnya?”. Mia mulai mengeluh setengah kesal. “Apa jadwal bisnya telat ya Na’?”. Tanya Mia setengah berbisik pada ku sambil lalu menggosokkan kedua telapak tangannya untuk menahan dingin.
“Sabar, mungkin sebentar lagi”. Kata ku menenangkan Mia yang kini mulai setengah berjongkok memegang lututnya yang terasa keram. Jujur saja sebenanya aku juga mulai sedikit jengkel dengan situasi ini. Berkali-kali ku lihat jam tangan, sudah pukul 7 lewat 35 menit, artinya kami sudah menunggu selama hampir 35 menit karena kami sampai di halte tepat pukul tujuh. Dalam hati aku mulai mengeluh pada situasi ini, sudah dingin, mendung, berdiri, dan menunggu bis yang tak kunjung datang menampakkan moncongnya (emang hewan punya moncong? – red) membuat suasana menjadi agak tidak menyenangkan. Aku melongokkan kepala ke jalanan berharap bis yang kami tunggu muncul, tapi sepertinya harapan ku sia-sia, nyatanya aku hanya melihat kendaraan yang sama sekali tidak ada kemiripan dengan bis, hhmmm... nasib-nasib.
Langit terlihat semakin mendung, tampaknya langit pagi ini tidak menunjukkan persahabatan dan dukungan pada kami. Bahkan Mia terlihat mulai gelisah dan mondar-mandir tidak jelas di halte. Kebetulan juga hanya kami berdua yang menunggu bis pagi ini. Kalau begini terus kami bisa telat sampai di sekolah. Bisa-bisa Pak Agung marah besar karena kami sudah melewatkan 5 menit jam pelajarannya. Marah, marah deh, kata ku dalam hati mencoba pasrah. Ketika sudah lelah dan bosan menunggu, mata ku juga mulai lelah melihat Mia yang gelisah mondar mandir, duduk dan berdiri tidak jelas, tiba-tiba sebuah mobil Humer hitam berhenti di depan kami. Kaca mobil terbuka dan munculah wajah yang selengean dari dalam mobil. Aku dan Mia setengah melongok melihat wajah yang muncul dari dalam mobil.
“Hai!!”. Sapanya dengan senyum khas yang selalu dia berikan kepada setiap cewek yang disapanya di jalan maupun di sekolah. Aku tahu karena aku memang mengenal wajahnya yang putih bersih, oval dan tentu saja tampan, yeah walaupun agak sedikit menyebalkan, tapi aku tahu pada dasarnya dia cowok yang baik. Aldi Mahendra, Itu namanya, nama yang cukup beken dikalangan cewek sekolah kami. Ya, ya, ya, aku tidak heran jika nama itu sanggup merebut perhatian setiap cewek di sekolah kami jika melihat tampang dan status sosialnya yang cukup tinggi.
“Halo!!”. Sekali lagi dia menyapa kami membuat ku agak tersentak dan membuyarkan pikiran-pikiran ku tentang kekaguman cewek-cewek di sekolah.
“Oh, hai juga!”. Aku balas menyapa sambil melambaikan tangan.
“Kalian ngapain?”. Dia bertanya lagi dengan ekspresi wajah heran.
“Ya nunggu bis lah, kan kita di halte bis. Masak nunggu pengamen?”. Kali ini Mia menjawab dengan agak ketus sambil tegak berdiri dan berusaha mengendorkan otot kakinya yang sedari tadi di ajak jalan-jalan keliling halte. Aku jadi tidak enak mendengar Mia menjawab pertanyaan Aldi seperti itu, tapi aku tetap memilih untuk diam dan tidak terlalu banyak berkomentar. Yeah bukan karena aku jaim atau sok col, tapi itulah aku, tidak terlalu banyak bicara jika menganggap orang lain tentu paham dengan situasi yang kami hadapi.
“Ya sudah, kalau kalian mau, ayo ikut nebeng bareng aku! Kasiankan kalian pastinya kelelahan nunggu bis, sementara bisnya mungkin sedang terjebak macet di sana”. Aldi tetap berusaha ramah walaupun Mia menjawabnya dengan ketus, kendatipun setelah diajak nebeng wajah Mia tidak berubah menjadi bersahabat. “Ayo! Mau enggak?”. Aldi mengulangi ajakkannya.
“Mmmm..Oke, ayo Mia! Kamu nggak mau telatkan di kelasnya Pak Agung?”. Kata ku, setengah merajuk agar Mia mau ikut nebeng. Wajah Mia tetap kelihatan dongkol, walaupun akhirnya dia meng-iyakan ajakkan ku. Tapi bukan berarti karena diajak Aldi, dia mau ikut karena aku yang mengajaknya. Mia memang tidak terlalu simpatik dengan Aldi, dan Mia juga bukan termasuk cewek yang mudah kagum pada keindahan fisik orang lain. Dia memang tidak terlalu senang dengan sikap Aldi yang agak selengean dan jujur saja sok col itu (yeah walaupun sebenernya dia memang tampan sih), apalagi bila dia melihat sikap cewek-cewek sekolah kami yang terlalu mengistimewakan Aldi, maka gunung merapi yang sudah lama tidak aktif di dalam tubuhnya akan aktif kembali dipicu dengan kekesalannya yang mendarah daging. Karena itu dia malas bukan main jika di ajak bicara oleh Aldi. Itu lah Mia, walaupun dia seperti itu, dia tetap sahabat ku yang is the best!!
Mobil melaju dengan kecepatan sedang di jalan yang agak lembab. Selama perjalanan kami lebih banyak diam, terutama Mia, diam seribu bahasa di belakang sambil sesekali mengerling kepada ku pada kaca mobil, lalu aku membabalasnya dengan tatapan bertanya tanda tidak mengerti. Sementara Aldi terlihat tetap santai mengemudi, seolah dia tidak melihat kekonyolan bahasa isyarat kami berdua.
Jujur aku tidak bisa bohong, kalau diperhatikan wajah Aldi memang tampan, bercahaya, bersih dan hampir tidak ada noda satupun di wajahnya sehingga membuat ketampananya semakin menonjol. Wajar saja cewek-cewek satu sekolah sangat tertarik dan perhatian padanya. Tapi sepertinya hanya Mia yang tidak mau mengakuinya. Jangankan mengakui kalau Aldi tampan, menyebut nama Aldi di depannya saja dia sudah berubah menjadi kepiting rebus yang tidak mau menjadi santapan penggemar seafood. Apalagi kalau mereka bertemu, pasti perang dunia tidak bisa dihindarkan lagi karena Mia memang orang yang paling tidak bisa menahan emosi terutama jika berhadapan dengan Aldi. Tahu deh sejak kapan mereka tidak akur, aku tidak mau menanyakan masalah ini pada Mia, bisa-bisa aku menjadi korban pembunuhan berdarah dingin. Iiiiiihhh..sereeeemm!!!
 Singkat rasanya perjalanan kami menuju kampus, sampai di parkiran tanpa basa basi Mia langsung turun mobil lalu membukakan pintu mobil untuk ku dan dengan cepat menyambar tangan ku, menarik ku menjauh meninggalkan Aldi dengan ekspresi bingung bercampur heran. Aku agak terseret dengan Mia yang terus menarik tangan ku berjalan ke arah tangga menuju kelas kami di lantai dua gedung sekolah.
“Apa-apaan sih Mia?!!”. Tanya ku dengan nada protes, tapi Mia seakan tidak mendengar protesan ku, dia terus berjalan cepat dan gesit menyusuri koridor kelas tanpa mengendorkan genggamannya pada lengan ku. “Woy!! Dengar tidak?”. Aku kembali protes dengan suara agak berbisik dengan mulut hampir menyentuh telinganya.
“Diam! Kita sudah terlambat, cepat!”. Jawab Mia datar seolah-olah mereka baru saja datang ke sekolah tanpa meninggalkan orang di parkiran dengan tampang bingung.
Sampai di kelas ternyata dugaan Mia benar, Pak Agung sudah mulai dengan penjelasanya tentang rumus teorema phytagoras. Tiba di depan kelas kami berdiri tegak lalu dengan hati berdebar Mia mengetuk pintu yang memang sudah terbuka dengan perlahan.
Tok! Tok! Tok!
“Selamat pagi Pak!”. Aku mencoba mengucapkan salam dengan halus dan sangat hati-hati. Jujur aku agak sedikit gugup karena dengan otomatis seluruh penghuni kelas melihat ke arah kami, tapi sepertinya Mia cuek-cuek saja, bahkan dia dengan tidak acuh mengajak ku untuk segera mencari tempat duduk, walaupun suaranya setengah berbisik.
“Selamat siang!”. Pak Agung balik menyapa kami dengan dingin dan datar. Bersamaan dengan itu Aldi datang dengan tergopoh-gopoh sambil mengucapkan salam yang sama dengan ku. Tapi bedanya dia agak lantang dan sumringah. Tapi sepertinya itu tidak mengubah ekspresi wajah pak Agung menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dia tetap dingin dan kaku sambil menulis di papan dan sesekali menjelaskan beberapa materi pada slide yang ditampilkan melalui LCD Proyektor. Kami bertiga hanya diam terpaku menunggu perintah.
“Kenapa masih di situ? Cepat ke Pembimbing Akademik kalian masing-masing!!”. Perintah Pak Agung dengan penekanan di setiap kata-katanya yang membuat kami melengos sambil lalu balik kanan majut jalan.
“Masalah dah nih”. Kata Mia mengeluh sambil garuk-garuk kepala.
“Udah ndak usah terlalu pusing mikirinnya”. Sahut Aldi sambil terus berjalan santai sambil memasukan tangan ke dalam kantong celana, khasnya. Mia cuma memberengut mendengar kata-kata Aldi barusan. Tentu saja dia bisa tenang, dia kan salah satu cucu ketua yayasan tempat berdirinya sekolah ini. Tepatnya International High School. Sekolah paling bergengsi se Asia Tenggara. Sekolah ini didirikan oleh pengusaha ternama se Asia Tenggara yaitu tuan besar Mahendra. Sedangkan kami berdua, hanya dua orang yang beruntung yang mendapatkan beasiswa sehingga bisa sekolah disini, itupun melalui seleksi yang amat ketat dan sulit. Batin Mia kesal.
Sampai di ruang guru, kami langsung mencari pembimbing akademik masing-masing. Seperti biasa kami mendapat detensi yaitu membersihkan toilet sekolah. Hmmm..nasib-nasib. Setelah selesai menangani urusan kami dengan pembimbimg akademik dan urusan dengan toilet, Mia terus menggerutu tidak jelas selama menyusuri koridor menuju ke kelas. Telinga ku sampai sakit mendengarnya, dengan malas kami duduk di kelas yang ternyata sudah sepi, sepertinya Pak Agung telah selesai dengan materinya.
“Waduh!! Sial banget hari ini. Masak mesti lembur bersihin kamar mandi? Enggak banget kan Na’? bisa pingsan aku karena baunya yang super harum, mana sekarang pulang-pulang mesti bantu ibu beres-beres lagi! Ini sih penindasan namanya, melanggar Hak Asasi Manusia!! Nasib-nasib mengapa diri ku selalu dirundung kesengsaraan, kapan ya pak presiden mau menjadikan ku anak angkatnya? Aku ingin segera terlepas dari penderitaan ini!! Hiks, hiks, hiks__”. Mia terus mengeluh sambil marah-marah tidak jelas dan ini membuat ku semakin sakit kepala mendengarnya. Kepala ku berdenyut dan terasa panas.  Kenapa tiba-tiba kepala ku terasa sakit?, ya Allah jangan sekarang. Aku seperti berputar di tempat. Rasa sakit ini seolah-olah memaksa ku untuk meremas setiap organ tubuh ku. Menusuk-nusuk, seakan denyut jantung ku tidak kuasa menahannya, aku seperti terhuyung dalam pusaran angin yang tidak jelas bentuknya. Aku merasakan ada suatu cairan hangat mengalir di hidung ku, terus mengalir hingga menetes di atas rok seragam ku. Cairan berwarna merah darah yang keluar dari hidung ku semakin banyak, membasahi hingga baju seragam ku. Lama kelamaan aku tersungkur, dan yang terakhir ku dengar adalah teriakkan Mia memangil-manggil nama ku dengan nada cemas, selebihnya aku hanyut dalam kegelapan.

Aku terjatuh dalam kegelapan yang terasa dingin. Aku berjalan tertatih-tatih menyeret langkah ku yang terasa berat menopang tubuh ku yang kian lemah termakan oleh virus atau entah bakteri apa yang menggerogoti ku. Aku merasa semakin lemah, tapi walaupun terasa lemah aku tetap berjalan mencari secercah cahaya untuk menghangatkan hati dan tubuh ku yang seakan beku dimakan kegelapan. Aku terus berjalan tanpa arah, meraba dalam kegelapan sampai tubuh ku terasa letih dan kaki ku tidak sanggup lagi berjalan. Aku terduduk dalam diam. Persendian ku kaku, tak dapat bergerak.
Nani!!
Aku menoleh ke belakang, sepertinya ada yang memanggil ku. Suara itu begitu ku kenal. Tapi dimana, siapa yang memanggil ku? Aku baru menyadari bahwa aku hanya sendiri disini, tidak ada orang lain selain aku tertinggal bersama kegelapan di sekeliling ku. Hampa merasuk ke dalam hati ku, dingin yang membeku, aku mulai putus asa. Ya Allah berikan aku jalan keluar, Aku ingin kembali pada bunda dan adik ku tersayang, mereka pasti mengkhawatirkan aku. Aku mohon ya Allah. Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat secercah cahaya yang semakin dekat ke arah ku. Cahaya itu seperti menyebar mengalahkan kegelapan di sekeliling ku. Cahaya itu seolah-olah datang menjemput ku. Semakin terang menyilaukan dan aku kembali tersadar akan hangatnya cahaya yang merasuk dalam tubuh ku, aku tersentak!
“Bunda..”.
Nama yang begitu ku rindukan, sepertinya aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Kini aku kembali disini, terbaring di dalam kamar bercat putih-putih dengan gorden hijau, ruang VIP Rumah Sakit Tresna. Bunda di samping ku, menggenggam tangan ku dengan hangat sambil terus memanggil nama ku. Ternyata suara itu adalah suara bunda yang memanggil ku dalam kegelapan. Aku tahu bunda pasti menghangatkan ku disetiap dingin melanda ku, aku tahu bunda pasti menerangi langkah ku setiap aku menemukan kegelapan. Aku tersenyum lemah padanya. Bunda mengusap kepala ku dan mencium keningku. Aku melihat sekelilingku ada Mia dan Aldi, mereka tersenyum penuh kelegaan melihat ku sudah siuman, aku balas tersenyum pada mereka.
“Syukurlah kamu sudah siuman, kami sangat khawatir Na’. Aku tadi nggak tahu mesti ngapain, untung ada Aldi yang datang. Aldi membantu ku menggendong mu dan membawa mu ke Rumah Sakit. Kamu baik-baik saja kan Na’?”. Mia menangis sambil terus mengusap tangan ku. Sepertinya dia terlalu khawatir dengan keadaan ku sehingga melupakan kekesalannya pada Aldi.
“Tenang aja, aku nggak apa-apa kok. I am fine! Jangan khawatir”. Kata ku mencoba menenangkan.
“Mangkanya kamu jangan terlalu capek”.
“Iya, nggak akan”.
“Janji?”. Mia mengulurkan jari kelingkingnya.
“Janji”. Kata ku sambil menautkan jari kelingking ku dengan Mia.
“Ya sudah kalau begitu bunda mau mengurus administrasi dulu. Mia, Aldi, titip Nani sebentar ya”. Kata bunda lalu kembali mengecup kening ku dan beranjak pergi menutup pintu kamar.
“Aldi makasi ya, maaf merepotkan mu”. Dengan kikuk aku tersenyum pada Aldi.
“Ah, nggak apa-apa, aku seneng bisa bantu kamu. Tapi jangan pingsan lagi ya, kamu berat tau!”. Aldi nyengir sambil pura-pura memijat punggungnya, sepertinya dia sedang berusaha mencairkan suasana yang agak kaku dan aku bersyukur atas itu.
“Aldi! Berat ku cuma 48 kg kok”. Kata ku sambil cemberut.
“Cuma? 48 kg kamu bilang cuma? Ya ampun Nani, hahaha..!”. Aldi tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya membuat pipi ku bersemu merah dan itu terlihat jelas oleh Mia yang langsung menyikut tangan ku memperingatkan. Aku cuma bisa nyengir lalu mengangkat bahu.
“Tapi, sebenernya kamu sakit apa sih? Aku lihat akhir-akhir ini kamu sering sakit kepala. Aku jadi ingat waktu di taman saat kamu baca buku, pas depan kamar mandi, terus di perpustakaan dan di___”.
“Ya ampun Nani, jadi kamu sudah sering sakit kepala? Kok aku nggak tahu?”. Mia mulai protes sambil menggguncangkan tangan ku tanpa memperdulikan penjelasan Aldi. Terang saja Mia tidak tahu karena aku selalu menhindar jika sedang kambuh.
“Bagaimana bisa kamu tahu?”. Tanya ku heran pada Aldi yang secara otomatis membuat Aldi memutuskan penjelasannya yang bagaikan kereta api  tidak bermasinis. “Kamu memperhatikan  aku, atau lebih tepatnya kamu membututi ku?”.
“Hah,,siapa bilang? Nggak kok, cuma kebetulan”. Kata Aldi mengelak, terlihat jelas kalau dia salah tingkah.
“Kebetulan apa kebetulan?”. Kata Mia dengan ekspresi ganjil mencurigakan.
“Beneran kok, cuma kebetulan doang”. Aldi kembali membela diri sambil mengangkat dua jari telunjuknya.
“Ya sudah hanya kebetulan saja”. Kata ku menengahi mereka berdua. Habisnya kalau dibiarkan sampai subuh juga mereka akan tetap saling menuduh dan saling mencurigai. Mia, Mia, dia tidak akan pernah mau kalah kalau dalam hal memperdebatkan sesuatu yang di anggapnya benar. Tapi aku sempat khawatir kalau-kalau mereka tahu penyakit ku. Jangan sampai mereka tahu, karena aku tidak ingin merepotkan orang terdekat ku, cukup hanya bunda yang tahu dan untuk itu aku sangat bersalah pada bunda karena bunda harus berusaha membagi waktunya untuk mengurus aku dan adik ku dan di tambah lagi dengan penyakit ku ini. Terima kasih bunda atas kasih sayang yang tidak terbatas...

“Apa kamu akan tetap menyembunyikan ini dari Mia sayang?”. Pertanyaan bunda mengejutkan ku pada suatu malam yang sunyi saat aku terdiam terhanyut dalam kata-kata yang ku simpan hanya untuk aku seorang.
“Aku nggak tahu bunda”. Hanya itu yang bisa ku ucapkan.
“Jangan memaksakan diri sayang. Cobalah berbagi dengan Mia, dia kan sahabat mu, bunda yakin dia akan mengerti. Karena seorang sahabat bukan hanya ada pada saat kita senang tapi ada juga pada saat kita membutuhkan dukungan”. Bunda tersenyum penuh kehangatan menyirami hati ku yang terasa gersang. Bunda selalu bisa merasakan suasana hati ku.
“Sayang, bunda mengerti perasaan mu saat ini, tapi bunda tidak mau melihat kamu patah semangat gara-gara penyakit mu ini. Kamu harus ingat, Allah memberikan cobaan sesuai dengan kemampuan kita, jika kita mendapatkan masalah ataupun musibah, berarti kita adalah orang-orang terpilih. Hanya orang-orang terpilihlah yang mendapatkan musibah. Tapi bukan karena Allah tidak sayang sama kita, melainkan dengan media itu Allah akan mengangkat derajat kita di sisiNya jika kita dapat melaluinya dengan sabar dan ikhlas, dan bunda tahu persis kamu bisa karena kamu anak bunda yang kuat dan tegar menghadapi aral”. Perkataan bunda selalu bisa menenangkan ku di kala gundah. Inilah yang membuat ku sangat bersyukur karena memiliki orang tua seperti bunda, kalau saja ayah masih hidup, tentu dia juga akan disini bersama bunda menenangkan ku, memberikan semangat pada ku dengan wejangan-wejangannya yang khas sambil mengusap kepala ku. Aku jadi rindu pada ayah. Semoga ayah mendapatkan tempat yang terindah di sisiNya, amin!.
Malam ini aku bisa tidur dengan tenang. Aku terlelap dalam pulau mimpi ku yang ku ciptakan dari dunia baru yang penuh keceriaan. Aku berjanji mulai saat ini aku tidak akan kalah dengan penyakit ku. Penyakit ini tidak boleh membuat ku mundur selangkah pun untuk mencapai finish. Aku harus menunjukan pada bunda bahwa aku adalah anak yang bisa di banggakan. Semua pasti ada akhirnya, aku yakin semua akan berakhir.
Aku merasa bebas kali ini. Sungguh terasa warna warni kehidupan kali ini. Tidak ada kepura-puraan lagi dalam tawa ku. Aku akan menerima semua ini sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa. Seperti kata bunda, aku adalah orang terpilih! Aku akan menggapai hangatnya cahaya itu kembali, tidak akan ku biarkan meredup lagi. Aku akan menciptakan dunia yang penuh kehangatan, tak akan ku biarkan badai datang memporak porandakan dunia ku lagi. Dunia ku akan biru lagi, tak boleh ada setitik noda hitam, semua harus di hapus hingga tak berbekas. Aku merasa benar-benar puas, ku rasakan darah ku mengalir di pembuluhnya, terasa hangat. Semua berjalan sesuai siklusnya, semua berjalan dengan wajar sesuai hukum yang berlaku, sesuai dengan aturan dalam ilmu Anfis. Aku lega, benar-benar lega. Akan ku song-song matahari ku lagi. Aku berjanji!

“Nani!! Akhirnya kamu masuk. Apa kamu sudah benar-benar merasa baikan? Atau perlu istirahat lagi?”. Mia menyambut ku dengan riang saat aku tiba di gerbang sekolah, ternyata dia menunggu ku.
“Tenang aja, aku kuat kok”. Kata ku sambil mengacungkan tinju ke atas.
“Apa benar-benar kuat?”. Tiba-tiba saja Aldi muncul di belakang Mia. Tentu saja ini membuat kami agak terkejut.
“Apa-apaan sih kamu? Bikin orang kaget aja”. Mia mulai protes sambil mengurut dadanya. “Lain kali kalau kamu nongol bilang-bilang caranya!”. Kata Mia pada Aldi sambil memberengut kesal. Tapi lagi-lagi Aldi cuek dan langsung berjalan meninggalkan aku dan Mia. Wajah Mia langsung memerah karena menahan amarah.
“Anak itu bener-bener__”.
“Sudah-sudah,,jangan terlalu di tanggapi. Lebih baik sekarang kita masuk kelas”. Aku segera menggandeng tangan Mia dan mengajaknya masuk kelas agar dia tidak mengoceh lagi. Tapi seperti biasa dia terus sewot yang tidak berujung sehingga dengan terpaksa aku harus mengancamnya, kalau dia tidak berhenti mengoceh aku akan sakit kepala lagi. Tentu saja ini penangkal yang paling mujarab untuk menghilangkan kecerewetan Mia. Dia langsung bungkam sambil menggeleng-gelengkan kepala lalu mengangguk aneh dan tersenyum mencurigakan. Aku mengartikan bahwa dia paham akan ancaman ku.
Sesampai di kelas teman-teman menyambut ku dengan kata-kata semangat yang tidak ku sangka-sangka, ternyata semua memperhatikan aku, duh..senangnya. Hati ku terasa hangat berada dalam lingkaran ini. Seakan denyut jantung ku tidak akan rela meninggalkan denyutannya begitu cepat demi sebuah momen ini. Kami bercanda dengan senangnya di dalam kelas, bahkan ada yang mengcopykan materi sekolah untuk ku. Aku sangat bersyukur mempunyai teman-teman seperti mereka.
“Hai Nani! Kamu sudah baikan ya?”.
“Oh, hai Wulan! Iya aku sudah baikan. Terima kasih atas perhatian mu!”.
“Oh ya tentu saja, sudah sepantasnya kamu harus berterima kasih”.
Aku agak terkesiap mendengar perkataan Wulan. Seolah-olah sudah memang keharusannya aku berterima kasih karena semua perhatian yang ku dapat adalah sebuah pengorbanan teman-teman yang susah payah mereka berikan pada ku. Tapi aku merasa semua perhatian mereka tidak palsu, perhatian mereka terasa tulus bagi ku. Senyum merekapun terasa hangat menyapa hati ku dan tidak satupun ada getar kepura-puraan pada nada mereka. Aku kembali bingung dengan sikap Wulan barusan. Ah..mungkin cuma perasaan ku saja, sudahlah biarkan saja. Terlihat bahu Wulan meninggalkan kelas dengan cepat, dia berbelok dan menghilang di balik tembok kelas.
“Woi!! Lagi liatin apa sih? Sarapan di kantin yuk”. Ajakan Mia cukup mengejutkan ku hingga aku kembali terbangun ke dunia nyata.
“Oke, tentu saja, ayo!”.
Pagi ini kantin tidak terlalu banyak pengunjung, mungkin karena di luar agak gerimis. Waktu aku berangkat tadi juga agak mendung. Semoga tidak turun hujan lebat nanti, kalaupun iya, aku akan terlambat sampai rumah dan bunda pasti khawatir. Angin dingin kembali menyapa, aku sedikit merapatkan sweater ku. Kami memilih tempat duduk agak jauh dari jendela agar angin tidak terlalu bersemangat menyapa kami. Namun suasana kantin cukup nyaman dan terasa hangat, beberapa meja terlihat siswa siswi yang sedang berduaan, entah dengan pacar atau sahabat. Mereka terlihat asyik berdiskusi. Di tengah ruangan juga terlihat sekelompok siswi sedang tertawa-tawa sambil melihat laptop yang dibawa salah satu anggota kelompok mereka, entah apa yang mereka lihat. Sejauh ini tidak ada yang terlihat serius. Sungguh suasana yang menyenangkan.
“Na’ mau ku pesenin apa?”. Mia menepuk bahu ku, memaksa ku untuk berhenti menikmati suasana ini.
“Halo!! Nani! Dengar nggak sih?”. Mia kembali menepuk bahu ku pelan.
“Iya, ya denger kok non. Aku pesen teh hangat aja, mmm..sama roti bakar satu”.
“Oke! Tunggu di sini ya, aku pesenin dulu”.
Mia berjalan setengah berlari memesan sarapan untuk kami. Mia yang baik, selalu menemani ku kapanpun aku membutuhkannya. Kami sudah berteman sejak Taman Kanak-kanak. Kemanapun kami selalu berdua, kami seperti tak terpisahkan satu sama lain. Sungguh menyenangkan mengenang masa kecil kami sambil melihat album foto waktu kami masih di Taman Kanak-kanak. Apa aku jelaskan saja tentang penyakit ku ini pada Mia ya? Ah tapi aku benar-benar tidak mau merepotkannya, aku rasa biar saja seperti ini. Pada akhirnya dia pasti akan tahu masalah penyakit ku ini, tapi tidak sekarang karena aku harus mengumpulkan kekuatan dan keberanian  untuk menjelaskannya pada Mia dan dia pasti mengerti mengapa aku belum menjelaskan masalah penyakit ku ini padanya.  Aku akan menjelaskannya sebelum aku benar-benar lupa semuanya. Seperti kata dokter, ada kemungkinan aku bisa kehilangan memory ku sebentar lagi. Mengingat itu aku kembali merasa hampa.
“Tidak mungkin dokter, anda pasti salah. Apa perlu cek laboratorium ulang?”. Kata bunda dengan suara tertahan karena tangis yang tidak bisa di sembunyikan dan aku hanya bisa terdiam, duduk di samping bunda dengan pandangan tertunduk menerawang entah kemana. Aku benar-benar bingung dan tidak bisa  berpikir jernih saat ini. Mengapa semua ini bisa terjadi pada ku? Apa salah ku? Aku rasa aku sudah menjadi anak yang baik dan penurut. Sedikitpun aku tidak pernah membantah perkataan orang tua ku. Aku selalu beribadah sesuai dengan kewajiban dan sunahNya. Sebenarnya ada apa? Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Sungguh aku tidak menyangka ini terjadi pada ku. Ternyata selama ini aku sering sakit kepala hingga tidak sadarkan diri bukan karena tidak beralasan, ternyata sekarang aku tahu  alasannya, ini karena kanker yang sedang berkembang biak dalam otak ku.
Dunia terasa berputar, aku benar-benar tidak dapat mendengar gaung suara bunda dan penjelasan dokter dengan tepat. Semua terasa hampa saat ini, saat ini aku merasa benar-benar hanya ingin sendiri. Aku ingin pergi ke suatu tempat yang orang lain tidak bisa menemukan aku. Tempat yang bisa membuat hati ku kembali pada puing-puing yang harus ku bangun dengan semangat. Tapi apakah semangat itu kini dapat ku raih kembali? Kemana aku harus mencari untuk mendapatkannya kembali? Semua kini telah hancur dan tak akan kembali lagi seperti semula. Hidup ku dan masa depan ku seakan sudah berakhir terkubur oleh tumpukan penyakit dalam otak ku. Semua benar-benar telah berakhir.
“Maafkan saya nyonya, kami sudah melakukan tes berulang-ulang dan hasilnya tetap sama”. Dokter menjelaskan dengan penuh harap agar aku dan bunda bisa mengerti. “Tapi kami akan berusaha semaksimal mungkin agar Nani tidak terlalu merasakan sakit yang berkepanjangan, dan perlu nyonya dan Nani tahu, kanker yang di derita Nani sudah stadium lanjut. Ada kemungkinan berefek pada kehilangan memory otaknya, jadi kami sarankan Nani harus mengikuti teraphy-teraphy yang akan kami berikan termasuk juga dengan cemotherapy untuk memperlambat pertumbuhan sel kankernya, setelah sebelumnya kita akan melakukan operasi pengangkatan sel kankernya terlebih dahulu, bgaimana?”.
“Hanya itu__?”. Suara ku tercekat seakan tertahan dalam tenggorokan. “Hanya untuk memperlambat pertumbuhannya? Lalu penyembuhannya?”.
“Maaf Nani, tapi sampai saat ini belum ditemukan cara penyembuhan yang efektif dan cepat untuk kasus yang kamu alami sehingga aku sebagai dokter harus menjelaskan segala kemungkinan yang ada dan cara menanggulanginya. Itupun jika nyonya dan Nani mau menjalaninya. Untuk sementara hanya ini yang dapat kami sarankan dan sekarang keputusan ada pada kalian berdua, apapun keputusannya kami tidak bisa memaksa”.
Nggak! Aku nggak akan pernah mau melakukan cemotherapy. Biar saja semua berjalan sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi. Kalaupun memang harus mati, biarlah seperti itu”. Kata ku dingin dengan tetap menunduk menatap jari-jari ku yang terus meremas sapu tangan.
“Nani, tapi..”. Kata-kata bunda terputus, aku tahu bunda pun kini amat sangat terpukul dengan keadaan ku saat ini, terlebih pada saat ini ayah tidak ada bersama kami.
“Sudahlah bunda, lebih baik sekarang kita pulang. Dokter terima kasih, kami akan memikirkan saran dokter”. Entah darimana aku mendapatkan kekuatan untuk mengatakan semua itu dengan sangat tenang aku merangkul tangan bunda dan mengajak bunda meninggalkan ruangan dokter. Bahkan bunda pun terus menangis dalam diam sambil menggenggam tangan ku dalam perjalanan pulang ke rumah.
Hari itu benar-benar menjadi hari yang begitu kelam. Langit pun seakan berubah warna menjadi hitam. Sesampai di rumah aku langsung ke kamar setelah sempat mencium kening Tata yang menatap ku dengan heran. Aku terpaku dalam suasana hati yang tidak menentu. Gundah dan galau menggapai-gapai ingin keluar dari dalam sangkar yang selama ini selalu ku kunci rapat-rapat dan tidak pernah ku biarkan mereka keluar semenjak meninggalnya ayah. Tapi kali kini aku telah membebaskan mereka hingga keluar dari batas zona aman ketentraman ku. Semua ku rasakan ikut menangis dan menatap ku dengan sendu. Tidak ada lagi yang  terlihat ceria menatap ku malam ini. Seakan-akan semua meratapi ketidak berdayaan ku melawan serangan beruntun dari penyakit yang menggerogoti otak ku yang mungkin saja sekarang sudah mulai menjalar ke seluruh tubuh. Aku menangis dalam kegundahan dan kegalauan yang mengelilingi ku, berteriak dalam kebisuan suara yang tertahan dalam hati. Pengap, benar-benar tidak bisa bernapas.
“Taraaa..pesanan sudah datang!”. Aku benar-benar tersentak dengan seruan Mia. Mia duduk disamping ku dengan pandangan heran. Tiba-tiba Mia menggenggam tangan ku penuh arti. Sepertinya dia tahu aku sedang memikirkan apa. “Na’ aku tidak tahu apa masalah mu, tapi apapun masalahnya aku berharap semua akan baik-baik aja. Yakinlah!”.
Kata-kata Mia seakan membangunkan ku kembali dari keterpurukan pikiran yang membuat ku berhenti dalam usaha mencari cahaya hangat untuk menyemangati hidup ku yang dingin. Bukankah aku juga sudah berjanji pada diri sendiri untuk tetap tegar. Aku tidak boleh menangis lagi!
“Makasi ya my best friend!”. Kata ku sambil merentangkan tangan dan kami berpelukan dengan hangat. Aku benar-benar nyaman saat dalam pelukan sahabat ku yang satu ini.
“Apa kalian nggak malu berpelukan kayak teletubis di tengah anak-anak yang lagi pada ramai?”. Kami spontan melepaskan pelukan satu sama lain mendengar teguran yang sangat tiba-tiba.
“Aldi!!”. Seru kami secara bersamaan.
Nggak pake’ alay kali!!”. Kata Aldi cuek lalu duduk dengan santai di sebelah Mia, membuat Mia secara refleks minggir dengan tatapan kesal bercampur marah.
“Siapa yang ngizinin kamu duduk dengan kami?”. Tanya Mia ketus sambil berkacak pinggang. Kentara sekali dia kesal oleh kelakuan Aldi yang super masa bodoh dan aku benar-benar mulai resah. Pasti akan terjadi perang dunia ke seratus!!
“Nggak ada, emangnya ada peraturan yang mengharuskan aku minta izin pada kalian sebelum aku duduk di sini?”. Tanya Aldi santai sambil terus meminum jusnya. Terang saja ini membuat Mia semakin kesal dan wajahnya mulai berubah menjadi ungu karena menahan amarah yan ingin segera meledak keluar.
“Aku yang membuat peraturannya mulai saat ini dan untuk seterusnya!! Apa kau mengerti tuan Aldi Mahendra?”. Mia mulai deh!
“Aku baru tahu kamu hafal nama lengkap ku Mia Paramita”. Kata Aldi dengan sedikit penekanan pada nama Mia.
“Kau!!__”. Kata-kata Mia terhenti lalu dia beranjak pergi meninggalkan kami berdua. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, aku hanya bisa mengerling pada Aldi dan mengangkat bahu. Mungkin Mia butuh waktu untuk sendiri setelah dua kejadian tidak mengenakkan bersama Aldi hari ini, tapi rasanya tiap hari juga begitu terus, jadi biarkan saja deh, lalu dengan santai aku mengambil sepotong roti bakar dan langsung melahapnya, habis lapar sih. Urusan Mia nanti dulu ah, entar juga baik sendiri.
“Nani”. Aldi memanggil ku pelan.
“Hmmm”.
“Boleh nanyak?”.
Aku menjawab dengan anggukan kepala.
“Kamu, apa ada orang yang kamu sukai?”.
“Ap..ap..apa?!!”. Hampir saja makanan dalam mulut ku menyembur keluar mendengar pertanyaan Aldi yang sangat tiba-tiba dan benar-benar tidak di sangka-sangka. Aku segera menelannya dengan bantuan teh hangat. “Kamu tanya apa?”. Aku mengulangi pertanyaan dengan ekspresi yang tidak bisa di gambarkan.
“Apa ada yang kamu sukai?”. Aldi kembali mengulang pertanyaannya.
“Kenapa tiba-tiba kamu tanya soal itu?”. Tanya ku dengan tampang bodoh yang oh my god! Kalau aku melihatnya di cermin aku akan menyesal seumur hidup.
“Hmmm..sudah lah lupakan. Aku balik duluan ya, habiskan makanan mu, jangan sampai kamu pingsan lagi karena aku tidak mau menggendong mu lagi, berat tau! Tapi kamu juga haus ingat, dengan ini kamu berhutang satu jawaban pada ku, daaaaggg!!”. Setelah mengatakan itu Aldi pergi meninggalkan seribu tanda tanya di otak ku. Satu pun tidak ada yang bisa ku jawab. Ini sangat membuat ku penasaran. Kenapa Aldi bisa bertanya seperti itu? Lagi pula dia tidak pernah terlalu banyak bicara pada cewek manapun di sekolah kami. Kalau dipikir-pikir dia itu orangnya santai, selengean, dan col, tapi sepertinya Aldi tidak terlalu menanggapi fans clubnya. Tertawa pun baru kemarin ku lihat pertama kali di Rumah Sakit. Hmmm..benar-benar aneh. Aku segera menggelengkan kepala dengan keras sehingga hampir saja aku sempoyongan dengan kelakuan ku sendiri. Aku segera mengambil dompet dan membayar makanan lalu segera berlari menuju kelas menemui Mia. Aneh!
“Mia Paramita yang baik hati dan tidak sombong, ini ku bawakan sarapannya yang tidak sempat dirimu sentuh sedikitpun”. Aku duduk disamping Mia sambil meletakkan sarapan yang tadi belum sempat dimakan oleh Mia diatas meja.
Nggak ah, aku udah enggak nafsu”. Kata Mia dengan malas sambil mendorong makanannya kepada ku.
“Walaaah..piye to? Aku kan udah capek-capek bawain buat kamu”. Aku mendorong kembali makanan itu ke depan Mia.
“Udah nggak mod Nani, mending kamu kasi ke cowok meyebalkan yang sok col itu”. Hmmm..kentara Mia benar-benar masih kesal pada Aldi.
“Jadi masih kesal nih? Beneran nggak mau?”.
Mia hanya menggeleng malas.
“Ya udah aku kasi ke Aldi nih, dan bilang kalau ini makanan dari kamu sebagai tanda permintaan maaf atas sikap yang tidak sopan tadi di kantin”. Kata ku sambil pura-pura mau beranjak dari tempat duduk, tapi baru saja aku mau beranjak Mia sudah marah-marah dan merebut makanannya dari tangan ku. “Ya sudah sini biar aku makan! Kamu ini memang nggak pernah ngedukung aku, selalu saja monyet tengil itu yang kamu bela. Dasar tidak berperi persahabaan kamu!”. Mia terus marah-marah sambil memakan makanannya dengan paksa hingga sebagian makanan itu hampir lompat keluar dari mulutnya. Cepat-cepat ku sodorkan air mineral padanya.
Ngomng-ngomng ternyata kamu sudah punya julukan ya buat Aldi?”. Aku mulai menggoda Mia dan hasilnya Mia memukul kepala ku menggunakan pensil yang ada di dekatnya.
“Aduh! Mia jahat. Nanti aku laporkan sebagai tindak kekerasan loh!”. Seru ku mengaduh sambil memegang kepala ku.
“Biarin, biar kamu kapok ngusilin orang”. Sahutnya agak ketus.
“Kamu tuh jangan terlalu benci sama orang, apalagi cowok, bisa-bisa jadi suka tau! Siapa tau aja kamu bisa pacaran. Gimana ya kalau kamu pacaran dengan Aldi? Hhiihi..”. Aku mengerling ke atas seolah-olah sedang membayangkan kalau mereka berdua pacaran.
“Nani!!”. Mia berseru marah kepada ku sambil melotot, hampir saja aku kembali jadi korban penganiayaan akibat kemarahannya. Bisa gawat nih, lebih baik aku hentikan aksi anarkis pengusilan ku pada Mia. Lama-lama dia bisa menjatuhkan bom atom dan dalam satu detik aku akan bernasib sama dengan kota Hirosima dan Nagasaki. Sungguh mengerikan!
“Wes-wes, sekarep mu lah”. Kata ku pasrah sambil menyodorkan kepala ku.
Nggak sampai segitunya kali!!”. Mia kembali meletakkan pensilnya.
“Maaf deh”. Aku mulai merajuk.
“Iya, ya, udah ah jangan bahas soal Aldi lagi. Bikin orang naik darah aja!”. Kata Mia dengan nada tidak sukanya. “Eh tapi ngomong-ngomong kamu kok semangat banget hari ini? Nggak kayak Nani yang biasanya”.
“Emang biasanya aku gimana?”.
“Kamu tuh biasanya dingin, datar dan tanpa ekspresi”. Jelas Mia dengan mantap lalu memakan potongan terakhir roti bakarnya.
“Masak aku separah itu?”. Tanya ku dengan heran yang sedikit dibuat-buat.
“Hmmm..”. Mia hanya menjawab dengan gumaman lalu kembali melanjutkan mengunyah roti bakarnya sambil sesekali menyeruput teh hangat yang ku bawakan dari kantin. Tidak lama bel tanda pelajaran pertama berbunyi. Kami segera membereskan meja dari benda yang tidak perlu. Hari ini kelas harus benar-benar rapi karena wali kelas kami yang super disiplin akan mengisi jam pertama mata pelajaran Fisika.
Spuluh menit kemudian ibu Kartini memasuki kelas kami, kelas II IPA3. “Selamat pagi anak-anak!”. Ibu Kartini mengucapkan salam dengan ramah namun tegas. Dia berjalan dengan elegan dan berdiri tepat di tengah kelas sambil tangannya melambai ke arah pintu. Dengan refleks kami serempak menengok ke pintu. Muncul seorang gadis tinggi berkulit putih bersih dengan rambut tergerai panjang lurus memakai bando membuatnya telihat semakin manis. Loh..itu kan Wulan, ngapain dia ke kelas kami? Aku yakin seisi kelas akan bertanya hal yang sama dengan ku. Aku mengerling ke arah Mia, tapi Mia hanya mengangkat bahu tanda tidak mengerti.
“Baiklah anak-anak, ibu rasa tidak perlu ada perkenalan karena ibu yakin kalian sudah saling mengenal”. Semua diam tidak ada yang berani berkomentar, walaupun sumpah mati mereka ingin menumpahkan pertanyaan pada ibu yang super disiplin ini. ”Mulai hari ini Wulan akan menjadi anggota kelas kita”. Bu Tini (Begitu kami memanggilnya) menambahkan. “Karena sesuatu hal maka Wulan di pindahkan oleh kepala sekolah di kelas ini”. Terdengar bisik-bisik yang penuh rasa ingin tahu dan rasa tanda tanya besar.
“Ehm! Bisa ibu lanjutkan?”. Sekelas kembali dalam kebisuan yang sedikit menegangkan. “Kalian jangan terlalu banyak tanya karena ini sudah menjadi keputusan kepala sekolah, jadi ibu harap semua bisa bekerja sama membantu wulan beradaptasi dengan kelas barunya”. Kami tanpa sadar menganggukkan kepala. “Baiklah Wulan, sebaiknya kamu duduk di__”. Terlihat bu Tini celingak celinguk mencari tempat yang kosong. “Nah disana, kamu duduk di dekat Nani”.
“Tapi bu__”. Aku dan Mia mencoba memperotes, tapi segera saja bu Tini memotong aksi protes dari kami.
“Kalian tidak boleh protes! Mia kamu pindah duduk di dekat Aldi”. Kata bu Tini dengan nada memerintahnya yang khas, membuat Mia melengos dan sedikit menggerutu.
“Tidak apa-apa bu, biar saya yang duduk di dekat Aldi”. Wulan mencoba menawarkan diri untuk berganti posisi dengan Mia.
“Tidak-tidak, Mia dan Nani sudah terlalu lama duduk berdua, perlu ada suasana baru untuk mereka. Ayo semua kembali tenang dan duduk pada bangku yang telah ibu tentukan dan jangan membantah!”. Ada penekanan yang sangat tegas pada setiap kata-katanya, sungguh menyeramkan!
Nggak apa-apa bu. Saya saja yang duduk dengan Aldi”. Kata Wulan dengan sedikit penekanan. Seisi kelas terbengong-bengong melihat keberanian Wulan yang membantah perintah bu Tini. Apa mungkin karena Wulan adalah salah satu Mahendra seperti Aldi?
“Oke kalau begitu kamu duduk dengan Aldi”. Ibu yang terkenal disiplin ini akhirnya tunduk juga dengan salah satu Mahendra. Coba siswa lain, pasti sudah di vonis bersalah dan langsung diberikan detensi.
“Terima kasih bu!”. Kata Wulan sambil lalu berjalan menuju tempat duduk di sebelah Aldi. Kentara sekali saat berjalan Wulan terlihat berjengit ke arah ku dan Mia. Kenpa sih? Apa segitu tidak sukanya dia dengan kami? Tapi setahu ku dia orangnya ramah bahkan dulu kami satu sekolah saat Taman Kanak-kanak, walaupun tidak terlalu dekat. Seingat ku sih begitu, sayang aku tidak terlalu ingat masa lalu ku semenjak sakit. Memang sih aku tidak terlalu kenal dengan Wulan. Aku hanya tahu dia adalah anak pengusaha kaya dan juga salah satu dari keluarga besar Mahendra. Terbukti dari nama belakangnya, sama seperti Aldi. Katanya lagi dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan dari orang tuanya. Gosipnya pada saat ulang tahun yang ke tujuh belas dia dihadiahkan mobil oleh orang tuanya. Hmmm..kalau aku mimpi pun aku tidak berani. Aku sudah bersyukur hidup seperti ini, sederhana dan apa adanya. Mempunyai Bunda yang super baik dan memiliki adik yang lucu dan penurut. Bagi ku itu semua sudah lebih dari cukup.
Jadilah sekolah heboh karena semua terpuasat pada gosip masalah pindahnya Wulan ke kelas kami. Pasalnya Wulan adalah cewek yang cukup populer di sekolah kami karena selain cantik dan kaya dia juga sangat ramah pada semua orang. Wulan juga termasuk siswi yang pintar karena dia menduduki peringkat tiga besar diantara orang terpintar di sekolah kami. Wulan juga sebelumnya masuk dalam kelas kopetensi, tapi kenapa dia pindah ke kelas kami, itulah yang menjadi bahan gosip seluruh siswa hari ini. Menanggapi gosip ini Wulan hanya bilang, “aku hanya ingin mencari suasana baru, itu saja kok”. Hanya itu penjelasannya dengan senyumnya yang khas. Dan tentu saja ditanggapi kekaguman yang luar biasa dari seluruh siswa, tentunya kecuali Mia.
“Menurut mu apa yang menyebabkan Si bando itu pindah ke kelas kita?”. Tanya Mia saat kami sedang asyik makan ice cream di loteng gedung sekolah yang kami jadikan tempat rahasia kami berdua. Sepertinya Mia kembali mendapat julukan untuk salah satu teman kelas kami. “Jujur aja ya aku kok kurang seneng ya dia pindah ke kelas kita. Yeach tapi aku pasrah aja deh walaupun orang sok dikelas kita jadi nambah satu orang. Abisnya mau gimana lagi, bukan kita yang berkuasa”.
“Entahlah, ajuga nggak tau”. Jawab ku datar sambil mengangkat bahu.
“Sepertinya kamu kurang bersemangat? Apa jangan-jangan kamu sakit lagi ya, atau kamu takut tersaingi oleh Si bando itu sehingga predikat pringkat pertama di kelas akan direbutnya?”. Mia mulai menggoda sambil menyikut lengan ku, tapi aku hanya nyengir. Sebenarnya bukan itu, aku sedang memikirkan sikap Wulan akhir-akhir ini pada ku, dan di tambah lagi pertanyaan Aldi tadi pagi sangat mengusik ku. Tapi untuk sementara aku tidak akan menceritakannya pada Mia, nanti dia berpikir yang tidak-tidak. “Idiiih..enggak kok. Aku nggak takut. Aku cuma khawatir nanti kamu tersaingi mendapatkan Aldi gara-gara kehadiran Wulan yang tiba-tiba”. Aku balas menggoda Mia dan tiba-tiba saja wajah Mia kembali memerah karena kata-kata ku tadi. Entah marah atau malu, Mia hanya menunduk memandangi ice cremnya.
“Kenapa? Aku salah ngomong? Diam berarti iya loh”.
“Udah ah, dasar cah gendeng koe!!”.
Mia berbalik lalu beranjak meninggalkan ku dengan tampang tidak mengerti.

Langit terlihat mendung siang ini, aku berjalan dari halaman menuju gerbang sekolah bersama Mia. Kami berjalan agak cepat karena takut keduluan sama hujan sebelum tiba di halte bis. Siswa siswi lain juga sebagian sudah pada pulang, hanya tadi kami mampir ke perpustakan sebentar karena ada tugas yang harus segera diselesaikan. Sampai di depan gerbang terlihat pak Tarno masih asyik duduk di kursi tempat biasa dia mengwasi gerbang sekolah.
“Halo pak Tarno!!”. Sapa kami secara serempak.
“Eh, mbak belum pulang to?”.
“Tadi kita mampir dulu ke perpustakaan pak, ada tugas yang harus diselesaikan”. Jawab ku sambil menunjukkan beberapa bundel kertas yang berisi rumus matematika.
“Wah-wah, mbak-mbak emang rajin yo”. Pak Tarno mulai menggoda dengan jurus memujinya.
“Ah biasa saja pak, wong ini memang tugas kita sebagai pelajar, ya to?”. Kata Mia merendah sambil meniru logat jawa pak Tarno yang khas sehingga membuat pak Tarno tersipu malu, kentara Mia sedang melebih-lebihkan sikapnya, tapi ini membuatnya terlihat lucu.
“Yo weslah mbak, lek mbaknya mau nunggu bis, mbok ya cepet to ke haltenya, entar keburu hujan loh”. Kata pak Tarno memberi saran dengan sopan.
“Inggih pak, yo wes kita pergi dulu nggih, hehehe”.
Kami segera pergi sambil ketawa ketiwi meninggalkan pak Tarno dengan ekspresi aneh sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ekspresinya selalu sama jika dia bertemu dengan kami. Geleng-geleng bingung karena kami selalu saja berhasil menggodanya walaupun dia beusaha membalasnya, hahaha! Pak Tarno,,pak Tarno,,,.
Zzzaaassshh!!!
“Yeah hujan lagi! Hmmm..moga bisnya cepet dateng”. Mia mulai mengeluh sambil memegang perutnya, sepertinya cacing-cacing dalam perutnya memulai aksi demo memperotes.
“Tenang, bentar lagi bisnya dateng kok”. Kata ku mencoba menenangkannya sambil melihat jam tangan. Sudah jam tiga sore, berarti sebentar lagi bis akan datang.
Cukup lama kami menunggu akhirnya bis yang kami tunggu datang juga. Kami naik ke bis dengan buru-buru sambil menutup kepala kami dengan tas karena hujan semakin deras mengguyur jalanan.
“Pyuh! Syukur bisnya dateng, kita jadi nggak terjebak macet dan juga kita dapet tempat duduk”. Aku hanya tersenyum menanggapi komentar Mia saat kami sudah duduk manis di dalam bis. Ada-ada saja komentarnya tentang suatu hal yang di sukai ataupun hal-hal yang tidak di sukainya. Sambil menunggu penumpang lain naik dan turun, aku lebih senang menikmati suasana di luar bis. Terlihat orang yang lalu lalang di jalan, ada pedagang asongan, mereka terlihat bersemangat menjajakan dagangan mereka. Bahkan terlihat masih ada yang di bawah umur, namun hujan benar-benar tidak menghalangi aktivitas mereka hari ini demi sesuap nasi. Tapi dintara keramaian itu satu yang menarik perhatian ku, di antara kerumunan itu terlihat sosok yang sedang bersandar pada tiang lampu di dekat pintu gerbang sekolah. Dia terpaku memandang lurus ke arah bis yang sedang menunggu penumpang. Tatapannya begitu tajam seperti mata elang namun terlihat sangat teduh. Walaupun jauh tapi aku bisa merasakan tatapan matanya yang begitu tajam. Bis mulai melaju meninggalkan sosok itu semakin jauh. Sosoknya yang tegap dan jangkung terlihat seakan mengecil dalam dunia yang begitu penuh sesak keramaian manusia yang datang dan pergi.
“Hey!! Kamu ngapain non?”. Mia menepuk punggung ku membuat ku terkejut lalu segera berbalik duduk ke posisi semula. Aku terpaku seolah-olah sosok itu bagaikan dekat dengan ku, seperti magnet yang akan membuat ku diam terpaku setiap kali memandangnya atau membayangkannya. Sosoknya seakan penuh misteri. Aku memang tidak mengenalnya bahkan mungkin aku baru melihat sosoknya yang samar-samar dalam keramaian di tengah hujan, tapi aku seolah-olah terhipnotis dengan sosoknya, begitu tegap dan tinggi, kokoh sepeti tiang yang tidak tergoyahkan. Sekali lagi aku menatap keluar, berharap aku bisa kembali melihat sosoknya mengikuti bis  bagaikan bayangan.
“Ya ampun ini anak, NANI AMELIA PUTRI!!”. Mia berteriak tepat di telinga ku yang membuat bukan hanya aku yang terkejut tapi seisi penumpang dalam bis ikut melotot kearah kami. “Maaf mas, mbak, ibu, bapak, adik, kakak, tante, om..bla, bla,bla”.
“Kamu ini ngapain teriak-teriak nggak jelas?”. Kata ku memperotes sambil mengusap telinga yang terasa pekak karena suara merdu Mia.
“Abisnya kamu, aku dari tadi ngomong nggak di denger-denger. Kamu lagi ngeliatin apa sih? Hantu, dedemit, atau cowok cakep? Kalau cowok cakep, bagi-bagi dong sama aku, aku kan sahabat mu dari kecil”.
Nggak, nggak ada kok”. Kata ku berkilah sambil menggelengan kepala secara tidak wajar dan ini membuat kecurigaan Mia bertambah.
“Gelengan yang nggak wajar, hayo ngaku!”. Mia mulai memaksa ku untuk buka suara dengan jurus mencubitnya yang tak terelakan yang membuat wajah ku memerah menahan sakit dan geli.
“Udah-udah, aku ngaku, aku ngaku”. Aku menyerah. “Tadi aku lihat jualan bakso, abisnya laper tau!!”. Kata ku berbohong sambil mengacak-acak rambut Mia gemas.
“Dasar tukang makan!!”. Mia membalas ku dengan mengacak-acak rambut ku. Tapi setelah Mia berhenti dengan aksinya, dia terkejut. “Loh Na’, ini apa?”. Mia terlihat terhenyak melihat sejumput rambut di tangannya dan jelas itu adalah rambut ku. Aku cepat cepat menggelengkan kepala tidak jelas.
“Na’ jangan bohong sama aku”. Mia mulai tegas bertanya.
Nggak ada apa-apa, aku nggak bohong. Aku emang nggak kenapa-napa, kamu jangan khawatir. Mungkin rambut ku rontok karena aku lagi coba-coba shampo aja”. Aku kembali berbohong, sungguhpun sebenarnya aku sangat ingin terus terang, tapi ini bukan saat yang tepat.
“Bener?”.
“Bener kok”. Aku kembali meyakinkan.
“Ya udah lupain aja mungkin aku terlalu khawatir”.
Melihat ekspresi Mia aku yakin dia belum sepenuhnya percaya. Terlihat dalam sorotan matanya tersimpan rasa ingin tahu yang besar. Aku benar-benar tidak tega berbohong sampai seperti ini pada Mia, karena dari kami mulai kenal sejak kecil kami sudah mengikat janji bahwa kami tidak akan berbohong dalam situasi apapun. Tapi besarnya rasa bersalah ku dapat dikalahkan oleh rasa tak kuasa untuk berkata jujur pada Mia. Aku kembali dilema tenggelam diantara dua gunung yang seakan menghimpit semakin jauh ke dalam rasa bersalah dan rasa ketakutan kehilangan segalanya. Aku memandang hujan yang jatuh ke bumi, rasa dingin bukan hanya ku rasakan pada kulit, namun rasa dingin ini juga merasuk jauh ke dalam hati ku. Terasa dingin dan sepi, sesak dan pengap.
Sesampai di rumah hujan sudah reda. Setelah mengganti seragam dengan baju santai, aku ke ruang makan bergabung bersama bunda dan Tata. Selama makan aku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kata-kata ku tertelan kembali oleh lidah ku yang kelu. Entah kenapa sejak peristiwa di sekolah yang terjadi antara aku dan Wulan, ditambah lagi kejadian di bis membuat pikiran ku kembali terpusat pada penyakit ku yang semakin parah. Melihat sikap ku yang tidak biasa, bunda tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya. Tapi bunda tetap bersikap tenang di depan Tata, takut menimbulkan pertanyaan.
“Sayang”. Bunda mengusap kepala Tata dengan lembut. “Tata makan dulu ya, bunda mau bicara dulu dengan kak Nani di kamar. Kak nani udah selesaikan makannya?”.  Kini bunda berbalik menatap ku dan aku hanya menganggguk lalu tanpa di minta aku segera beranjak ke kamar di ikuti bunda dari belakang.
“Ada apa sayang?”. Bunda mengusap kepala ku dengan lembut, tapi aku hanya terdiam dalam kekalutan yang sangat. “Sayang..semua akan berakhir tanpa ada air mata kesedihan, bunda yakin itu dan bunda mau kamu juga yakin akan hal itu. Nikmatilah hari-hari mu. Bukannya kamu sudah memiliki dan mendapatkan apa yang kamu inginkan? Teman dan keluarga yang menyayangi mu yang sanggup berbagi suka maupun duka. Kecuali kamu ingin lebih dari itu, bukankah Allah tidak pernah menuntut mu lebih banyak dari ini? Bukan kah kamu sudah diberikan begitu banyak kenikmatan yang berlimpah? Apa kamu ingin mendustakan semuanya?”. Aku menatap bunda penuh arti, seolah-olah bunda sedang membangunkan ku dari tidur panjang. Tapi sayang apapun sikap mu bunda akan selalu mendukung mu, itupun jika kamu mempunyai keberanian untuk menentang. Bunda yakin kamu lebih mengerti mana yang terbaik untuk mu”. Bunda kembali mengusap kepalaku dan meng-eratkan genggamannya lalu berdiri dan mengecup kening ku sebelum bunda beranjak pergi meninggalkan kamar ku.
Aku tertunduk menatap tangan ku yang masih terasa hangat karena genggaman tangan bunda. Hati ku terasa ngilu mendengar kata-kata bunda yang menghujam hati ku. Begitu tajam menusuk jantung ku membuatnya seakan berhenti berdetak untuk kesekian detik. Ngilu yang ku rasakan semakin bertambah saat aku mencoba untuk kuat dan bertahan dalam pemberontakan hati nurani ku akan semua perkataan bunda. Bunda benar, aku memang tidak mempunyai banyak kebernian untuk menentang semua yang telah diberikan untuk ku sejak lahir sampai saat ini. Aku sadar aku salah menilai anugerah ini sebagai suatu bencana yang akan menghancurkan hidup ku. Sejak kecil aku tidak pernah diajarkan untuk semudah ini menyerah dengan masalah yang ku hadapi. Akan ku hadapi semuanya dengan penuh keikhlasan dan percaya diri, apapun akhirnya akan ku terima dengan senyum bahagia dan seperti kata bunda akan ku akhiri tanpa air mata kesedihan. Aku janji!!
“Bunda”. Aku mendekati bunda yang sedang asyik menyulam untuk adik ku.
“Ya sayang”. Bunda mendongak lalu menghentikan pekerjaanya. Sepertinya bunda mengerti dan tahu apa yang akan aku sampaikan. Bunda selalu tahu isi hati ku dengan hanya sekali menatap mata ku.
“Bunda maaf, aku hanya takut. Tapi aku berjanji mulai saat ini nggak ada lagi air mata kesedihan untuk semua ini, bunda tenang aja, aku sudah belajar dari bunda. Terima kasih bunda, aku sayang bunda”. Aku tidak bisa menahan air mata ku yang mengalir deras dengan sendirinya. Maaf bunda ini terakhir kali aku menangis. Aku merangkul bunda dengan erat seakan aku tidak ingin melepaskannya sampai waktu ku terhenti.
“Ini baru putri bunda yang manis. Nani Amelia Putri”. Bunda kembali mencium kening ku, hangat menjalar dalam hati ku yang dingin dan mencairkan gunung es dalam hati ku yang sudah lama membeku. “Sekarang kamu minum obat dan istirahatlah, jangan terlalu capek, bunda akan menghubungi dokter Irfan dulu. Aku mengangguk lalu meninggalkan bunda yang terlihat sedang sibuk menekan tombol Hp.

Aku setengah berlari mengitari jalan komplek menuju jalan raya. Aduh gara-gara  masalah kemarin aku lupa mengerjakan tugas yang diberikan pak Agung. Mampus aku kalau tidak segera menyelesaikan tugasnya. Duh sial! Mana Mia juga udah duluan ke sekolah lagi. Nyesel deh tadi aku nyuruh dia duluan, pakai telat bangun segala lagi. Ya Allah, hari apa ini, kok aku jadi ling lung begini? Padahal aku termasuk siswi teladan di sekolah. Predikat itu bisa-bisa kecabut dari otak ku, terus aku bilang apa coba sama bunda? Aduuuuhh!! Aku terus mengeluh dalam diam dengan mimik wajah yang tidak bisa digambarkan. Sampai di halte aku berharap ada keajaiban sehingga ada teman sekolah yang telat. Maksudnya sih biar bisa numpang. Aduh mana sih? Aku terus tengak-tengok kiri kanan, tapi yang ku lihat hanya ada pedagang kaki lima yang lalu lalang menawarkan dagangannya dipinggir jalan raya, semoga saja mereka tidak kena razia. Eh bukan waktunya mikir kayak gitu, yang aku harus pikirkan adalah bagaimana aku harus kesekolah dalam waktu 15 menit dari sekarang.  Ya Allah berikanlah kesatria atau dewi penyelamat ku! Aku benar-benar butuh pertolongan saat ini dan semoga nanti ada yang ikhlas meminjamkan tugasnya untuk ku, amin!
Ckkiiiittt!!!
Sebuah mobil Humer hitam berhenti di depan ku dengan suara rem yang kentara sekali pengendaranya tadi ngebut sebelum berhenti. Aku celingak celinguk mencoba menembus kaca mobil yang gelap. Tapi tiba-tiba saja pintu mobil terbuka sehingga aku terpaksa lompat ke belakang saking kagetnya. “Ya ampun siapa sih? Lihat-lihat dong kalau mau buka pintu?”. Saking terkejutnya, tanpa sadar aku marah-marah tidak jelas. Tapi kata-kata ku tehenti ketika melihat wajah pengendara mobil hitam itu. “Aldi??”.
“Ayo naik! Kamu mau bengong sampai kapan? Ini sudah hampir jam 7 loh!”. Aku masih agak terbengong-bengong sampai Aldi melambaikan tangan didepan ku, aku baru tersadar dan menggeleng-geleng persis seperti saat Mia memastikan aku tidak membohonginya. “Woi!! Jadi ikut nggak?”.
“Mmm..ya, ya aku ikut”. Tanpa pikir panjang lagi aku masuk ke dalam mobil.
Mobil melaju kencang di jalan raya menuju sekolah. Salip kiri, salip kanan, kami hampir saja menabrak seorang pejalan kaki. Ya ampun ternyata Aldi tukang ngebut juga, beda sekali dengan tampangnya yang col. Tapi itu sih menurut cewek-cewek di sekolah ku, kalau menurut ku sih Aldi itu orangnya suka seenaknya. Ya ampun Nani! Bukan waktunya kamu memikirkan sifat orang lain. Sekarang kamu harus memikirkan diri mu sendiri karena kumis pak Agung sudah menungguku untuk mendapat hukuman jika tugas ku belum selesai. Mampus aku!
Sesampai di sekolah aku segera turun dengan tergesa-gesa. “Makasih ya Al!!”. Dengan setengah belari aku mengucapkan terima kasih sambil menoleh kebelakang ke arah Aldi yang terlihat sedikit heran dengan sikap ku. Ini kan baru jam 07.15, kan belnya tingal 15 menit lagi. Kenapa dia buru-buru begitu? (Dalam pikiran Aldi).
Sampai di kelas aku segera mengambil tempat duduk di sebelah Mia yang tengah asyik dengan sandwichnya. Dia setengah kaget melihat ku buru-buru membuka tas dan mengambil buku.
“Aku pinjem PR mu, please..”. Setengah memohon aku meminta pada Mia.
 “What?!! Aku nggak salah denger neh?”. Kata Mia setengah heran setengah tersenyum mengolok. Aku tahu persis ekspresi wajahnya yang seperti itu.
“Udah ah, jangan pasang tampang muka begitu. Sini aku pinjem!”. Dengan sedikit kesal aku membuka tas Mia dan mengambil buku tugas Matematikanya. Mia terus bertanya ini dan itu, tapi aku tetap tidak menghiraukannya dan terus menulis.
“Kamu mimpi apa sih semalem? Kok bisa siswi yang berpredikat siswi teladan meminjam buku PR ku? Bener-bener tanda akhir zaman nih. Ck,ck,ck”. Mia geleng-geleng tidak jelas dengan sikap menggurui. Sikap yang khas jika dia sedang menanggapi ku melakukan sesuatu diluar kebiasaan ku. Cape deh melihat tingkahnya.
“Udah diem aja, jangan bawel!”.
“Oke deh, nanti kita bicarakan lagi”. Kata Mia dengan nada yang tidak mau mengalah.
“Mia Paramita!!”. Aku mulai jengkel, kalau saja aku sedang tidak sibuk sudah ku timpuk anak ini dengan tong sampah terbesar yang ada di depan gerbang sekolah. Eh, tapi kayaknya kejauhan deh. Kalau begitu aku timpuk dengan kursi ku aja deh, ah ya itu lebih praktis dan cara terefisien membungkam mulutnya yang super bawel.
“Ups..sorry-sorry, aku ngalah deh”. Kata Mia mengusap-usap punggung ku setelah ku pelototi dengan pandangan mematikan.
Teeet..teeeet..teeet!!!
Bel sekolah berbunyi yang menandakan jam pelajaran pertama pagi ini dimulai. Tapi bagi ku itu adalah bel tanda penentuan nasib ku hari ini. Bisa-bisa aku dihukum lembur membersihkan kamar mandi selama satu bulan. Aaaarrgg! Aku nggak mau, ogah! Harus cepat-cepat diselesaikan nih tugasnya, kalau sampai tidak selesai, bisa-bisa aku pindah kelas ke dalam toilet. Yaelah..kan nggak oke banget tuh!
“Selamat pagi anak-anak!”. Salam pak Agung seperti petir yang membangunkan ku dari mimpi indah semalam. Emangnya aku mimpi apa semalam? Tok! Belum waktunya memikirkan mimpi.
“Cepat kumpulkan tugas kalian!”.
Duuenggg! Mampus aku! Eits, jangan salah, aku sudah selesai nulis loh! Segera ku ikuti teman kelas ramai-ramai mengumpulkan tugas di meja guru. Fiuh! Untunglah selesai tepat pada waktunya. Nggak sia-sia aku lari sampai terjungkal-jungkal dan memalak Mia.
“Kamu aneh pagi ini”. Mia mulai berkomentar lagi.
“Apanya yang aneh?”. Kata ku dengan nada suara yang kembali seperti semula, datar dan tanpa ekspresi.
“Udah balek ke dunia non?”.
“Maksud mu?”.
“Kamu tu aneh banget tau! Udah bangun telat, nggak ngerjain tugas, pake alasan lupa segala, ini tuh bukan kamu banget tau!”. Kata Mia sambil mencubit pipi ku yang cabi.
“Udah ah! Biasa aja kok”. Kata ku datar sambil memperhatikan papan tulis yang kini mulai penuh dengan rumus matematika.
“Ya udah aku lupa kamu juga manusia biasa yang tidak luput dari salah , khilaf dan dosa-dosa yang tidak dapat kamu hindari dan tentunya sama seperti aku. Tapi tenang aja aku siap membantu mu, itupun kalau aku juga mampu dan bisa dengan sempurna seperti yang kamu harapkan dan bla..bla..bla___”. Mia terus mengoceh tidak ada hentinya, sampai-sampai dia tidak memperhatikan pak Agung yang sedang berjalan kearah kami.
“Mia Paramita”. Panggil pak Agung dengan suara sedingin es kutub utara.
Kami serempak mendongak memandang wajah pak Agung dengan ekspresi wajah yang menyeramkan, belum lagi ditambah dengan kumisnya.
“KELUAR KALIAN!!!”.
Spontan kami langsung berdiri lalu keluar kelas secara bersamaan.
“Bener-bener memalukan!”. Mia mulai dengan keluhannya yang mungkin sekarang ini sudah dia nobatkan sebagai ciri khasnya.
Aku hanya menanggapinya tanpa ekspresi yang membuat Mia sedikit tersipu. Mungkin tidak enak hati atau entah apa.
“Kita ke kantin”. Aku menggandeng tangan Mia berjalan menuju kantin.
Pagi ini kantin terlihat sepi, wajar saja karena ini masih jam pelajaran dan belum jam istirahat. Terlihat hanya ada seorang cowok yang duduk santai sambil sesekali menyeruput kopi di depannya. Sepetinya aku kenal cowok itu, tapi dimana ya? Bodo ah! Biarin aja emangnya penting apa? Aku duduk dengan malas tidak jauh dari tempat duduk cowok tadi.
“Aku pesen teh hangat dan roti bakar”. Kata ku sambil tersenyum tanpa menunggu Mia bertanya dan sesekali mengerling ke arah cowok tadi.
“Oke!”. Mia berbalik lalu menghilang diantara etalase kantin.
Sepertinya cowok itu sedang memperhatikan aku. Aku merasa hawa yang kurang nyaman menyapa dengan ramah. Tapi aku sungguh kurang suka dengan suasana seperti ini. Kurang kerjaan nih cowok. Perasaan aku tidak pernah lihat dia di sekolah, kok tiba-tiba nongol, apa dia siswa baru kali ya? Ya ampun kenapa aku merasa tatapannya menghujam tepat ke arah ku. Cowok ini kenpa sih? Maniak kali ya? Aku semakin tidak tahan dengan suasana yang terasa semakin tidak mengenakan bahkan terkesan agak mencekam. Aku menoleh ingin memastikan siapa cowok itu, tapi niat ku urungkan karena terlihat ada seorang cowok lagi yang menghampirinya dan duduk di dekat cowok itu. Aldi? Ternyata dia kenal cowok itu, apa dia teman sekelasnya Aldi? Tapi kok aku tidak pernah melihatnya? Ah sudahlah ngapain mesti dipikirin.
“Pesanan datang!!”. Mia datang membawa nampan penuh dengan makanan dan minuman. Hmmm..baunya menggugah selera makan. Ternyata ada juga baiknya jadi anak nakal. Hehehe..tapi jangan sampai bunda tahu, kan bisa gawat!
“Kamu kenapa?”. Kata Mia sambil menepuk bahu ku. “Akhir-akhir ini kamu sering ngelamun. Dari tadi juga aku perhatiin kamu terus nengok ke belakang. Emangnya ada siapa sih?”. Mia mulai celingak celinguk menyelidiki.
“Aldi!! Kamu perhatiin dia?”. Tanya Mia sambil melotot, kentara sekali dia terlalu melebih-lebihkan.
“Bukan”. Sangkal ku sambil mengunyah roti bakar.
“Nah, terus?”. Mia kembali bertanya dengan heran.
“Tuh”. Kata ku sambil mengerling ke arah cowok tadi.
“Eh, siapa itu yang bersama Aldi?”. Mi bertanya dengan setengah berbisik.
“Tau”. Jawab ku sambil mengangkat bahu. “Kalau aku tahu aku sudah komentar dari ta__”. Kata-kata ku terputus karena tiba-tiba tanpa basa basi Mia berjalan ke arah Aldi dan cowok itu. Ya ampun Mia, cari masalah dia.
“Ow..ternyata ada siswa yang bolos juga  ya? Menghindar karena nggak ngerjain tugas atau bolos karena kencan sama sang kekasih?”. Mia memulai aksinya dengan sikap lebaynya yang memalukan!.
“Kalau dua-duanya bener, eangnya kamu cemburu?”. Aldi membalas dengan eksperesi ganjil yang aneh.
“Idih..ogah! ngapain? Nggak ada untungnya tau!”. Mia berbalik dengan kesal, lalu duduk dan memakan mie gorengnya dengan lahap.
“Kamu ini sering cari masalah”. Protes ku lalu menggetok kepala Mia.
“Aduh! Sakit tau, abisnya aku gemas sama Si monyet itu. Tiap kali kita terus ketemu. Kayaknya dia membuntuti kita”.
“Hus! jangan berpikir yang aneh-aneh”.
“Kalau nggak, terus ngapain kita ketemu terus sama dia? Bikin bete aja”.
“Mungkin cuma kebetulan, sudah jangan terlalu dipikirin”.
Nggak kok aku cuma__”. Kata-kata Mia terhenti karena Aldi  dan cowok tadi berjalan melewati kami dengan senyuman yang bagi cewek lain mungkin sangat memukau, tapi cowok tadi melihat kami dengan ekspresi wajah yang bagi ku tatapannya sedikit familiar. Deg! Jantung ku seakan berhenti sedetik. Aku menatap mereka berdua berjalan dan menghilang di balik pintu kantin yang kini tertutup di belakang mereka.
“Siapa ya?”. Kata ku bergumam.
“Apa?”. Mia bertanya dengan mulut penuh mie dan aku hanya menggeleng menanggapi pertanyaanya. Mia pun hanya mengangkat bahu dan terus melanjutkan aksi mengunyah mienya. Dasar tukang makan!
Tiituut..tiituut..!!
Hp ku berbunyi, ternyata telefon dari bunda. “Halo bunda!”. Sejenak wajah ku berubah menjadi kaku mendengar suara bunda dari seberang sana. “Ya bunda, aku ngerti, daag bunda! Sampai ketemu di sana”. Klik! Telepon terputus.
“Cafa? Bundha?”. Mia bertanya dengan mulut masih penuh mie goreng.
“Iya bunda”. Kata ku mengiyakan.
“Kenapa?”. Glek, glek, glek. “Ada masalah?”.
Nggak, bunda cuma mengingatkan jangan lupa minum obat”. Kata ku berbohong, entah sengaja atau cuma perasaan ku saja, aku merasa Mia menatap ku dengan  tatapan yang tidak biasa. Dengan sedikit salah tingkah aku menghindari tatapan Mia yang seolah-olah tahu kalau aku sedang tidak jujur.
“Ow gitu”. Lagi-lagi tanpa diduga Mia percaya dan itu membuat rasa bersalah ku semakin besar padanya.
Aku menunduk menatap tangan ku yang sedang memutar-mutar Hp di bawah meja. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana, benar-benar suasana hati yang tidak enak. Sebenarnya tadi bunda memberi tahu ku jadwal operasi. Aku takut dan itu wajar pada setiap orang. Apalagi dengan kondisi ku saat ini.
Teeet..teeet..teeet!!
Bel tanda pelajaran pertama telah usai berbunyi. Fiyuh! Syukurlah, ini artinya kami bisa mengikuti jam pelajaran selanjutnya.
“Yuk balik!”. Mia mengajak ku kembali ke kelas, tapi entah kenapa aku seperti terpaku di tempat duduk ku. Mia selalu saja seperti ini. Sepintas dia terlihat tidak perduli, tapi aku tahu dia sangat mengkhawatirkan aku. Aku tahu dia berusaha tidak memaksa ku menjelaskan yang sebenarnya. Dia tahu aku belum siap menjelaskan semuanya dan yakin aku akan menjelaskannya nanti disaat yang tepat, setidaknya itulah arti setiap tatapannya pada ku. Mia adalah sahabat ku yang paling ku sayangi, tidak ada yang bisa memahami ku lebih baik daripada dia memahami ku. Mia you are my best friend forever and ever!!
“Tuh kan ngelamun lagi. Ayo!!”. Mia menarik tangan ku dan merangkul ku dengan hangat, hangatnya menjalar hingga ke seluruh tubuh ku, ini bukti jika dia memang tulus sayang pada ku. Aku seperti mempunyai saudara perempuan yang sangat memperhatikan aku. Memang benar kata bunda, apa lagi yang harus aku dustakan? Terima kasih ya Allah!
Ternyata jam pelajaran kedua belum dimulai. Aku dan Mia segera duduk di tempat kami semula. Masih terlihat tumpukan rumus matematika di papan tulis. Siswa-siswi mulai dengan kegiatan rutin sebelum mulai jam pelajaran selanjutnya. Semua harus rapi dan bersih jadi siswa-siswi yang piket terlihat segera menghapus papan tulis dan ada juga yang menyapu di bagian depan kelas. Semua pekerjaan rutin harus selesai sebelum guru masuk.
“Hai!!”.
Aku dan Mia serempak menoleh ke sumber suara yang menyapa kami.
“Kamu lagi”. Kata Mia setengah menggerutu.
“Loh, emangnya kenapa? Salah?”. Tanya Aldi dengan tampang sok bingung.
“Au ah!”. Balas Mia sambil menaikkan pundaknya dengan malas.
“Na kamu apa kabar? Sehatkan?”. Tanya Aldi dengan senyum sumringahnya.
“Baik, makasi ya!”. Balas ku sambil tersenyum.
“Tumben perhatian!”. Mia kembali menggerutu.
“Kenapa?? Suka-suka aku dong. Kamu cemburu?”. Aldi mulai melancarkan jurus balasan dan aku yakin sebentar lagi akan ada perang dunia di dalam kelas.
“Idiiih..Ge-Er! Ngapain aku cemburu sama monyet tengil kayak kamu!”. Kata Mia yang kelihatannya mulai tersulut omongan Aldi. Tapi kelihatannya Aldi malah senang dengan reaksi Mia yang seperti gunung mau meletus. Lihat saja wajah Mia merah padam karena menahan kesal.
“Terus, ngapain kamu dari tadi sewot? Kalau nggak cemburu, apa dong namanya? Hayo ngaku!”. Kata Aldi sambil menyenggol pundak Mia dengan sikunya.
Nggak kok! Kamu aja yang Ge-Ernya kelewatan. Dasar Monyet tengil!!”. Seru Mia gemas dengan nada yang mulai di tinggikan. Wah-wah sepertinya perang dua negara tidak bisa dihindarkan lagi. Gawat nih harus segera dihentikan.
“Udah-udah, Mia kamu duduk yang tenang dulu ya”. Kata ku mencoba menenangkan Mia sambil mengusap punggungnya. “Aldi minta tolong ya, mendingan entar aja ngobrolnya, soalnya Mia lagi nggak mod. Please..ya!”. Kata ku setengah memohon pada Aldi.
“Oke! No problem. Dag Miaa!”. Aldi melambaikan tangannya dengan jahil kearah Mia dan disambut Mia dengan juluran lidah, persis anak SD. Mia, Mia.
“Oh ya, jangan lupa kamu punya hutang yang belum dibayar ya Na!”. Seru Aldi kepada ku dari tempat duduknya. Sempat ku lihat tatapan Wulan yang ganjil. Aku hanya terbengong-bengong mendengar perkataan Aldi. Hutang? Hutang apa ya?
“Emangnya kamu hutang apa sama Aldi?”. Mia mulai bertanya dengan nada  menyelidiki dan aku yakin akan berakhir dengan kesimpulan konyol yang dibuatnya sendiri. “Hayo ngomong!”. Mia menyodok perut ku dengan agak keras sehingga aku mengaduh kesakitan.
“Aow! Sakit tau”. Seru ku sambil mengusap pinggang ku yang sekarang terasa sedikit ngilu.
“Mangkanya jawab kamu hutang apa sama Aldi? Jangan-jangan kamu hutang uang banyak ya sama dia, mangkanya dia jadi perhatian sama kamu untuk mendapatkan bayaran yang lain sebagai pelunasan hutang mu. Dasar bener-bener monyet tengil maniak kurang ajar!! Masak kamu dimanfaatkan sampai segitunya? Akan ku hajar dia nanti pada jam istirahat. Beraninya dia memperlakukan mu dengan nggak adil hanya gara-gara hutang uang. Pantas saja kamu akhir-akhir ini sering ngelamun nggak jelas, ternyata gara-gara itu ya, bener-bener si Monyet itu, ku hajar dia nanti! Emangnya berapa hutang mu Na?”. Tanya Mia sambil menggenggam tangan ku dengan tatapan yang aneh.
“Udah ngomongnya?”. Tanya ku agak sedikit kesal.
“Udah, emangnya ada yang salah?”. Mia balas bertanya dengan tampang tak bersalah dan sungguh ini benar-benar membuat ku kesal setengah mati gara-gara sifat Mia yang satu ini. Sifat yang seenaknya saja menyimpulkan sesuatu sebelum mendapat kepastian yang lebih jelas.
“Udah ah! Pusing ngomong sama kamu!”. Aku bebalik menghadap ke depan dengan kesal. Fyuh..lama-lama aku bisa gila jika Mia terus seperti ini.
“Loh kenapa? Aku salah ya? Maaf deh. Aku kan hanya kesel aja ngelihat kamu kayak dimanfaatin sama Si Monye tengil itu. Aku kan cuma nggak bisa biarin best friend ku kejebak dalam situasi rumit, apa lagi kamu kan lagi sakit, nggak boleh terlalu capek fisik dan capek pikiran, mangkanya aku reaksinya begitu. Izin kan aku mlindungimu ya?”. Kata Mia panjang lebar dengan nada yang mendorong niat ku untuk menimpuknya menggunakan kursi muncul kembali. Lagi pula memangnya aku harus dilindungi dari apa? Bukannya dia yang harus segera diselamatkan dari syndrome paranoid yang berlebihan? Kalau terus-terusan begini aku bisa mati duluan sebelum waktunya.
“Selamat pagi menjelang siang anak-anak!”. Kata bu Rosi memberikan salam dengan senyum ramah pada seisi kelas. Fiyyuh..sukur deh, ini bisa membungkam mulut Mia yang super bawel untuk sementara. Tapi tau deh entar kalau jam istirahat paranoidnya kumat apa nggak. Batin ku agak lega.

Waktu ku terasa sudah dekat. Detik-detik menjelang kepulangan ku yang begitu dinantikan oleh para cahaya suci yang tidak bernafsu telah tiba. Aku merasa hidup, bahkan lebih dari hidup. Aku bisa merasakan sejuknya angin yang berhembus membelai mesra wajah ku yang seputih kapas. Aku bisa merasakan dinginnya air yang mengalir melewati sela-sela daun telinga dan lorong pada kerongkongan ku. Semua ku rasakan mengalir dalam darah ku, menyatu dengan jiwa dan raga ku. Bernyanyi dan berdendang seiring dengan desahan nafas dan detak jantung ku yang perlahan-lahan akan segera terhenti. Tanpa sadar aku meletakkan tangan tepat pada posisi jantung ku. Ku rasakan detak demi detaknya, begitu indah seakan membuai ku dalam pangkuan bunda, terlelap dalam tidur yang panjang tak berujung. Sekali lagi ku hirup udara yang berjalan sesuai dengan ayunan dan belaian yang mempunyai hak dan tujuan. Semua sungguh berjalan sesuai dengan rencana. Aku pun seperti ini sesuai dengan rencanaNya yang terbaik.
Aku terduduk dalam diam dengan senyuman puas atas semua nikmat dan kebahagiaan yang tiada tara. Sungguh aku tidak pernah merasakan kebahagiaan dan semangat hidup hingga jantung dan paru-paru ku seakan berlomba menyuarakan semangat yang menggebu-gebu agar aku tidak berputus asa dengan kesengsaraan yang berbuah menjadi berkah dan pelajaran ilmu di kehidupan mendatang. Aku tesenyum pada daun-daun yang gugur menyapa, pada pohon yang berdiri tegak, pada air yang mengalir dan pada angin yang senantiasa menemani ku. Sungguh kebahagiaan yang tidak terbayarkan dengan apapun.
“Nani”. Suara lembut menyapa ku dari samping yang membuat ku agak terusik sehingga aku terpaksa menoleh. Namun aku terpaku memandang sosok yang bersandar di pohon cemara tepat berada di samping ku. Sosok itu tengah berdiri menikmati alam sama seperti yang engah ku lakukan. Selama sekian detik aku terpaku memandangnya, aku merasa sosok ini sangat ku kenal, sosok yang mengganggu ku saat pulang sekolah ditengah hujan deras yang mengguyur siang. Sosok yang jangkung dan dingin. Sorot mata yang tajam, tidak akan pernah aku lupakan. Siapa dia, kenapa bisa ada disini? Terlihat dari seragam yang dia kenakan jelas dia adalah siswa sekolah ini.
“Ehm!”. Dehemannya membuat ku beranjak pergi meninggalkan bayangannya di tengah hujan yang mengguyur siang. “Aku mengganggu?”. Suaranya ramah walau terdengar agak kaku.
Aku menggeleng.
“Boleh aku temani?”. Dia kembali bertanya.
Aku hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Entah aku sedang berpikir apa hingga aku berani ditemani oleh cowok yang baru ku kenal.
“Aku Elang”. Katanya memperkenalkan diri.
Aku kembali hanya terdiam, lidah ku kelu tidak mampu mengeluarkan suara. Namanya Elang, sesuai dengan sorotan matanya yang tajam bagaikan mata elang. Aku tertunduk tidak berani menatap matanya. Lama kami hanya terdiam. Satu sama lain tidak ada yang saling bicara. Kami seakan mempunyai ruang yang berbeda, namun aku begitu merasa hangat dan nyaman di dekatnya. Aku merasa aman duduk di dekat tubuhnya yang jangkung. Dia seperti seorang malaikat yang di kirimkan Allah untuk ku sebelum aku meninggalkan dunia ini. Apa aku benar-benar menganggapnya seperti itu? Apa aku sudah gila? Aku kan baru saja mengenalnya? Tapi entah kenapa aku merasa dekat dengannya. Ya Allah sebenarnya siapa dia?
Angin, apa kau tahu aku sedang tersipu dan gelisah di sini? Air, apa kau tahu aku bertanya-tanya tentang rasa yang sulit dijelaskan? Pohon, apa kau tahu aku di sini sedang berusaha menguatkan hati untuk tidak terlibat dengan situasi yang rumit? Beri aku petunjuk dengan alam yang menunjukan tanda bahwa Engkau memang ada. Situasi dan suasana ini benar-benar sulit untuk ku jelaskan dengan kata-kata ataupun dengan gambar yang abstrak sekalipun.
Teeet..teeet..teeet!!!
Bel tanda pelajaran akan dimulai berbunyi sekaligus menandakan bahwa kami harus kembali ke kelas masing-masing. Fyuh..syukurlah karena aku tidak mau lebih lama dalam situasi yang rumit seperti ini. Semuanya benar-benar tidak bisa ku jelaskan!
“Sampai jumpa!”. Katanya melambaikan tangan lalu beranjak meninggalkan ku yang menatapnya tanpa berkedip.
Sungguh pertemuan yang aneh. Benar-benar tidak disangka-sangka. Aku sempat berpikir aku tidak akan berjumpa dengan sosoknya. Ternyata dia malah satu sekolah dengan ku. Ya ampun! Aku baru ingat, dia kan cowok yang bersama Aldi di kantin tadi pagi. Berarti Aldi kenal dengan cowok itu. Apa aku tanya Aldi ya? Ah tidak, biarkan saja seperti ini, aku lebih baik tidak mengenalnya lebih jauh.
“Woy!!”. Mia berteriak tepat di telinga ku.
“Aduh! Mia, sakit tau!!”. Kata ku jengkel sambil menutup telinga ku yang terasa pekak karena suara merdunya.
“Mangkanya jangan ngelamun sambil jalan non! Mau lolos sampai kejedot tembok? Atau jangan-jangan kamu masih memikirkan hutang pada Aldi? Ya ampun Na tenang aja, nanti kalau Aldi datang menagih mu dengan licik, aku yang hadapi”. Mia mengepalkan tinjunya ke atas lalu memamerkn ototnya di depan ku.
“Ngawur kamu”. Kata ku sambil menepis tangannya lalu duduk di kursi dekat jendela yang menghadap ke danau kecil yang berada disebelah utara sekolah, tempat aku duduk saat jam istirahat bersama Elang.
“Nah terus, ono opo cah manis?”. Tanya Mia dengan logat jawa yang mirip pak Tarno penjaga gerbang sekolah kami.
Nggak ada dan jangan omongin soal hutang piutang lagi, oke!”. Kata ku menegaskan.
“Siap bos!”. Balas Mia sambil memberi hormat ala polisi, membuatnya terlihat lucu dengan ekspresi wajah yang sengaja di tegangkan.
“Cah gendeng”. Gumam ku.
“Nani!”. Suara sapaan membuat kami berdua menoleh ke arah sumber suara.
“Eh..panjang umur nih monyet tengil”. Mia mulai dengan aksi menyindir.
“Hus! Mia jangan gitu ah”. Kata ku menegur sambil menyikut lengannya.
“Biarin aja Na, aku nggak terlalu merhatiin orang yang cepet tua karena keseringan sewot sama orang”. Kata Aldi dengan suara yang jelas sekali penekananya pada setiap kata.
Apanya yang nggak terlalu merhatiin? Buktinya malah balas sindir, Aldi gimana sih?! Aku jadi bingung. Sudah-sudah, kalian ini kayak anak kecil aja. Jangan terlalu saling benci, entar saling cinta loh, baru tahu rasa!”. Kata ku memperingatkan mereka.
“NGGAK AKAN!!!”. Seru mereka serempak.
“Buktinya kompak”. Aku kembali menambahkan.
“Dalam kamus ku nggak ada yang namanya cinta dengan orang sok populer sedunia!! No way!!”. Setelah berkata seperti itu Mia beranjak pergi meninggalkan aku dan Aldi yang terbengong-bengong keheranan.
“Jangan terlalu di pikirin, entar juga balik sendiri. Sekarang dia Cuma sedang kesal aja”. Kata ku pada Aldi yang membuat Aldi berbalik memandang ku, tidak lama dia pun duduk di tempat Mia yang baru saja meninggalkan kursinya.
“Aku nggak terlalu kepikiran kok”. Balas Aldi sambil mengangkat bahu. “Oh ya, aku ke sini mau menagih hutang mu”.
“Apa? Jadi aku benar-benar mempunyai hutang pada mu?”. Tanya ku dengan sedikit terkejut bercampur heran.
“Loh, apa kamu sudah lupa dengan hutang mu?”. Aldi balas bertanya.
“Ya ampun aku kira Mia hanya paranoid seperti biasanya”. Kata ku sambil menepuk kening.
“Memangnya Mia bilang apa pada mu?”.
“Dia bilang aku berhutang uang pada mu, dan jika kamu menagih ku dengan licik, dia akan menghajar mu”. Jelas ku pada Aldi yang disambut Aldi dengan tampang heran yang ganjil.
“Hahahaha!! Hutang uang? Bukan!”. Aldi kembali tertawa sambil memegang perutnya.
“Terus apa dong?”. Tanya ku heran.
“Ya ampun Nani masak kamu udah lupa? Kamu kan berhutang jawaban sama aku”.
“Hutang jawaban?”. Aku bergumam tanda kebingungan. “Kapan? Dimana?”.
“Kemarin di kantin, masak kamu udah lupa?”. Aldi kembali mengingatkan.
Aku hanya menggeleng kebinggungan sambil mencoba mengingat pertanyaan mana yang belum aku jawab. Tapi kendatipun aku berusaha mengingat-ingat petanyaan yang memerlukan jawaban ku, aku sama sekali tidak ingat. Jangan-jangan aku sudah mulai kehilangan memory ku sedikit demi sedikit. Bukankah dokter juga pernah berkata seperti itu? Tiba-tiba saja rasa takut menyapa ku dengan kejamnya tanpa belas kasihan. Aku mulai terfokus pada satu titik jenuh yang sama sekali tidak aku inginkan. Aku benar-benar pusing, pandangan ku mulai berkunang-kunang, samar-samar lalu pada akhinya gelap menyapa ku dengan ramah.
“Nani, Nani!!”. Suara Mia memanggil ku dengan nada cemas.
Aku membuka mata dengan kepala masih terasa pusing.
“Kamu nggak apa-apa?”. Mia terdengar khawatir. “Apanya yang sakit? Harusnya tadi aku nggak ninggalin kamu sama monyet tengil ini”. Kata Mia dengan nada kesal sambil melotot ke arah Aldi yang berdiri di belakangnya.
“Eh kok nyalahin aku? Aku kan cuma ngajak ngobrol”. Aldi mencoba membela diri yang disambut Mia dengan kepalan tinju ke arah wajah Aldi, spontan saja Aldi menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Makasih ya Al, lagi-lagi kamu yang nolongin aku”. Kata ku dengan suara hampir berbisik.
“Sama-sama, tapi jangan salah, bukan aku yang membawa mu ke ruang UKS, tapi kak Elang”. Aldi menunjuk sosok jangkung yang bersandar pada tembok tepat di samping kanan dekat jendela sehingga sosoknya tersamarkan dari pandangan ku karena bias oleh sinar matahari yang masuk melewati jendela.
“Loh, bagaimana bisa?”. Tanya Mia terheran-heran.
“Ya bisalah, whay not?”. Balas Aldi sambil mengangkat kedua bahunya.
Mia hanya menanggapinya dengan mencibirkan mulutnya.
“Kalau gitu makasi ya kak”. Kata ku sambil tersenyum lemah ke arah Elang.
“No problem”. Tanggapnya santai dengan senyum tipis di bibirnya.
JEBBLAKK!!! Pintu ruang UKS tiba-tiba terbuka dengan sedikit kasar.
“Kak Elang kemana aja sih? Wulan cari-cari dari tadi ternyata malah sibuk disini”. Wulan bergelayut manja di lengan Elang. Entah kenapa adegan ini membuat ku sedikit syok. Tapi mungkin karena kedatangan Wulan yang sedikit tiba-tiba.
“Kak mama tadi nelfon, kakak disuruh mampir ke rumah. Mampir ya kak? Kalau nggak mama marah loh, aku juga bisa ngambek. Ya kak ya!”. Wulan kembali merajuk pada Elang. Pemandangan ini jelas membuat Mia sedikit gerah, terlihat jelas di wajahnya.
“Woy!!”. Mia memulai dengan aksi protesnya. “Apa kalian kira, kalian cuma berdua di sini? Di ruangan ini masih ada tiga nyawa tau!”.
“Loh memangnya kenapa? Aku tidak ada perlu dengan kalian. Aku hanya ada perlu dengan kak Elang, ngapain kamu sewot?”. Balas Wulan tidak kalah sengitnya.
“kamu nggak lihat apa, di sini ada orang sakit? Apa orang kaya tidak pernah diajari tata kerama ya?”. Mia mulai terdengar akan meluapkan amarahnya yang tidak bisa dibendung lagi.
“Bodo amat! Mau sakit kek, nggak kek, apa pedu__”. Kata-kata Wulan terhenti karena Elang tiba-tiba menyeretnya keluar dari ruang UKS. “Kak, pelan-pelan dong!”. Terdengar suara Wulan semakin hilang di kejauhan.
Nggak usah dimasukin dalam hati ya Na”. Mia mencoba menenangkan ku sambil mengusap lembut tangan ku dan ku tanggapi dengan senyuman.
“Dia siapa sih Al?”. Tanya Mia pada Aldi dengan sedikit sewot, mungkin efek dari kekesalannya terhadap Wulan tadi.
“Kamu nanya’ Wulan atau kak Elang?”. Aldi balas bertanya.
“Ya kak Elang lah, masak Wulan, dia kan sekelas sama kita”.
“Ow kak Elang. Kak Elang siswa baru di sini. Dia itu baru pulang dari Australia, di sana dia tinggal dengan neneknya. Dia ada hubungan keluarga dengan keluarganya Wulan, tentunya dengan keluarga ku juga karena dia kakak sepupu ku. Wulan dan Elang itu adalah teman sepermainan sejak kecil. Kemana-mana selalu berdua, tapi sejak kak Elang harus pindah ke Australia menemani neneknya yang sakit-sakitan, yang tentunta nenek ku dan Wulan juga dan kebetulan nenek juga sangat dekat dengannya, oleh karena itu terpaka Elang dan Wulan terpisah. Mereka sudah tujuh tahun tidak bertemu, berhubungan hanya lewat email. Sekarang kak Elang baru bisa pulang karena nenek sudah meninggal. Dia memilih meneruskan sekolah di Indonesia dengan alasan ingin mempelajari budaya Indonesia karena dia memang sudah lama tidak pulang ke Indonesia. Jadi wajar Wulan bersikap seperti itu”.
“Wajar apanya?”. Sahut Mia setengah kesal.
“Sudah, jangan diperpanjang lagi, yang penting kita tahu alasannya Wulan bersikap seperti itu”. Kata ku menengahi perang yang hampir saja meletus lagi. “Tapi Al, kenapa Elang terlihat pendiam dan dingin ya?”. Tanya ku penasaran.
“Kalau itu sih memang sifatnya seperti itu, terutama pada cewek dan tidak terkecuali Wulan. Yeah walaupun mereka teman sepermainan, tidak ada pengecualian. Menurut keluarga ku sih itu terjadi semenjak ibunya meninggal dunia di saat umur kak Elang masih enam tahun. Mangkanya dia jadi lebih pendiam sekarang. Tapi aku sangsi dengan alasan itu karena semenjak aku kenal dengan kak Elang dan sauda...eh maksud ku aku mengenalnya dari kecil, sifatnya emang udah kayak gitu”.
Ibunya meninggal sejak dia masih kecil? Ya ampun kasihan sekali. Bagaimana menderitanya dia? Kalau aku diposisi kak Elang, aku pasti tidak akan sanggup melewati hari-hari ku. Walaupun sekarang dia terkesan pendiam dan dingin pada semua cewek, tapi aku merasa dia begitu hangat dan ramah, dia tidak seperti penampilan dan sorot matanya yang dingin dan tajam. Buktinya tadi dia menyapa ku saat duduk sendiri ditepi danau. Aku yakin ada kehangatan yang tersembunyi jauh di dalam palung hatinya yang terdalam.
“Tuh kan ngelamun lagi”. Mia mengejutkan ku sehingga terpaksa aku menjauhi bayangan Elang yang terasa semakin lekat dalam dinding syarap ku.
 “Apa perlu aku hubungi bunda?”. Kata Mia bertanya dengan nada khawatir.
“Nggak, nggak perlu. Aku udah sembuh kok, kalian tenang aja. I am gone be fine!”. Kata ku menenangkan kekhawatiran Mia.
“Bener udah baikan?”. Tanya Mia memastikan.
“Bener, masak nggak percaya? Nih lihat!”. Aku menekuk lengan menirukan gaya binaraga saat memperlihatkan otot mereka.
“Ya deh iya percaya”. Mia mengalah kemudian mengacak rambut ku dengan gemas.
“Yeah..pangeran ganteng dilupain deh”. Aldi terdengar melengos di belakang Mia.
“Idiiih! Ini orang kok urat Pe-Denya udah putus kali ya, narsis banget jadi orang!”. Tanggap Mia dengan ekspresi wajah terkesan agak jijik yang dibuat-buat.
“Biarin aja! Emang kenyataannya gitu kok”. Kata Aldi sambil mengibaskan rambutnya.
“Ya ampun dasar Monyet tengil yang narsis!”.
“Dasar tane-tante cerewet!”.
“Orang utan nggak tau adat!”.
“Kamu ibunya orang utan”.
“Bla, bla,bla, bla......”.
Ya ampun mulai deh mereka.
“Oh ya Na, kamu kan belum bayar hutang ke aku”. Tiba-tiba Aldi memutuskn rantai pengolok-an antara dia dan Mia.
“Ya ampun nih monyet, nggak tahu situasi banget. Masak orang lagi sakit malah ditagih utang sih? Bener-bener deh!”. Kata Mia gemes.
“Aku kan cuma minta satu kata aja untuk melunasi hutangnya. Nggak beratkan?”. Komentar Aldi santai.
“Sudah-sudah, mbok ya tenang saja barang sebentar”. Kata ku menenangkan dengan logat jawa ala pak Tarjo. “Emang hutang ku berapa Al, maaf aku lupa”.
“Berapa? Kok berapa?”. Tanya Aldi heran.
“Loh kok kamu malah heran? Ya berapa jumlah hutang ku semuanya?. Aku balik bertanya.
“Memangnya kamu hutang uang apa?”.
“Lalu?”. Kali ini Mia bertanya, sepertinya dia penasaran.
“Kamu tuh nggak hutang uang, tapi hutang jawaban!” Seru Aldi sambil memainkan alisnya naik turun. “Kan tadi aku udah bilang cuma satu kata doang”.
“Jawaban? Apa?”. Tanya ku heran.
“Ya ampun Nani, kamu nggak ingat waktu aku tanya kamu soal...”. Tiba-tiba Aldi berhenti bicara saat mengerling ke arah Mia. “Ah sudahlah, entar aja kalau kamu udah sembuh. Aku pulang dulu ya, daaagg!”. Aldi pergi tanpa menoleh ke belakang meninggalkan kami yang bertampang aneh.
“Dasar orang aneh!”. Kata Mia bergumam.

Siang ini cukup terik walaupun sedang musim hujan. Aku pulang ditemani oleh Mia sampai gerbang depan rumah. Mia harus segera pulang untuk membantu ibunya di warung. Maklum kami kan bukan orang yang terlalu berada. Aku saja masih sering bantu-bantu di toko bunga tante Imelda adik bunda. Letaknya di Mall Kota. Walaupun kami harus bekerja keras untuk sekolah, kami tidak keberatan karena kami selalu menikmati pekerjaan kami.
 “Bunda aku pulang!”.
“Sayang, ayo sini ikut makan bersama kami!”. Kata Bunda sambil menyiapkan piring untuk ku di sebelah Tata.
“Aku ganti baju dulu ya”.
“Ya sudah kalau begitu kami akan menunggu mu”. Bunda tersenyum.
“Cepet ya kak, aku sudah lapar”. Kata Tata merajuk sambil mengusap-usap perutnya.
“Oce bos!”. Sahut ku sambil mengacungkan jempol.
Aku menaiki tangga setengah berlari. Tiba di kamar aku segera mengganti seragam dan menyisir rambut ku. Tapi ada yang membuat ku terhenti menikmati wajah ku dalam cermin. Aku menunduk memandang hampa pada rambut yang berceceran di lantai. Bukan sehelai atau dua helai, tapi sangat banyak sampai aku tidak bisa menghitungnya. Sepertinya efek samping obat yang diberikan dokter Irfan sudah bereaksi. Aku ingin menangis, tapi tetap ku tahan demi mama dan Tata. Aku tidak mau melihat mereka bersedih melihat ku yang tengah putus asa.
“Sayang!”. Terdengar suara bunda memanggil dari bawah, sepertinya Tata sudah tidak sabar menunggu.
Aku cepat-cepat turun ke ruang makan.
“Aku datang!”. Seru ku sambil mencium kening Tata.
“Lama banget sih kak?”. Gerutu Tata setengah jengkel.
“Kan ini udah dateng, jangan ngambek dong”. Canda ku sambil mengacak rambutnya dengan gemas.
“Aaaakkhh kak Nani!”.
“Sudah-sudah sekarang kita berdoa dan mulai makan, ayo sayang pimpin doanya”. Mama menatap Tata penuh harap lalu tersenyum. Tata pun dengan bangga dan sumringah memimpin doa sambil menutup mata dan menundukkan kepala dengan khusuk.
Kami berdoa sambil mengikuti ucapan doa yang dipimpin Tata. Suasana ini pasti akan ku rindukan jika aku tidak ada nanti. Akankah aku bisa merasakan rindu pada keluarga ku setelah aku sudah memejamkan mata untuk selamanya? Ya Allah aku mohon berikan aku kesempatan untuk menikmati suasana ini lebih lama lagi. Dalam diam, ku ucapkan doa lebih dari doa yang biasa ku ucapkan, aku terhanyut dalam deru nafas dan detak jantung yang saling memburu. Nafas ku sesak, kepala ku terasa berputar dan aku merasakan mual diperut yang sulit ditolak. Aku merasa seperti masuk dalam pusaran angin yang memabukan, terus berputar semakin kencang tanpa bisa dihentikan hingga aku terpaksa mengalah dan ambruk tidak sadarkan diri.
“Nani! Nani!”.
Terdengar suara bunda yang memanggil ku dengan cemas sambil mengusap kepala ku dengan lembut. Hangat sentuhan tangan bunda menjalar hingga melelehkan saraf-saraf yang membeku dalam otak ku, terasa sejuk bagai angin semilir pada musim panas. Aku membuka mata dan tersenyum hangat menyambut bunda sambil merentangkan tangan dengan lemah untuk memeluknya. Bunda menyambut tangan ku dengan pelukan super erat yang membut ku hampir kehabisan nafas, namun aku sama sekali tidak keberatan, malah aku bahagia mendapat pelukan ini, tapi entah sampai kapan, aku pasrah, ku serahkan semua pada Sang Pencipta.
“Masih pusing sayang?”. Tanya bunda cemas.
Aku hanya menggeleng lemah sambil berusaha tetap terenyum.
“Kalau memang sakit, kamu bilang saja, biar bunda panggilkan dokter”.
Nggak apa-apa kok, bunda tenang aja”.
“Naniiiiii!!!”.
Mia tiba-tiba datang sambil berteriak memanggil nama ku lalu langsung memeluk ku. Ini benar-benar membuat ku kaget bukan kepalang. Aduh..ada-ada saja tingkah aneh sahabat ku yang satu ini. Kini Mia tengah sesenggukan sambil tetap memeluk ku, aku hanya mengangkat bahu tanda heran pada bunda. Bunda hanya menanggapi dengan gelengn lalu menunjuk pintu dengan isyarat bahwa bunda akan keluar sebentar dan aku mengangguk pelan.
“Kamu ngapain sih? Ayo bangun! Aku bisa kehabisan nafas karena bau badan mu. Kamu nggak pernah mandi apa?”. Seru ku sambil mendorong pelan tubuh Mia dari atas tubuh ku.
“Apa!? Masak sih masih bau? Padahal udah ku semprotkan dengan parfum hampir sau botol loh”. Katanya sambil mencium badannya sendiri.
Nggak nyadar ya non?”.
“Hehehhe..ketahuan ya aku nggak mandi tadi”.
“Dasar badung!”.
“Biarin! Weeeee..”.
“Bau apa nih? Jangan-jangan bau orang yang nggak pernah mandi seharian”. Tiba-tiba Aldi datang sambil mengusap-usap hidungnya seolah-olah ada bulu yang menggelitiknya. Aku agak kaget karena Aldi selalu hadir disetiap penyakit ku kambuh, terlebih lagi dibelakangnya ada kak Elang yang mengikutinya masuk.
“Enak aja, tuh ketek mu yang bau!”. Balas Mia dengan kesal sambil memonyongkan bibirnya.
“Aku tuh udah mandi kembang tujuh rupa, jadi nggak bakalan bau tau!!”.
“Kamu tuh wlaupun dimandiin kembang seratus rupa juga nggak bakalan ngilangin bau badan karena kamu Si monyet tengil yang super pinter ngurusin urusannya orang!”.
“Kamu tuh yang suka__”.
“Apa-apa?! Nggak tahu kan mau ngomong apa?”.
Beginilah kalau Mia dan Aldi bertemu, seperti kucing dan tikus, selalu bertengkar dan tidak ada yang mau kalah.
“Dasar cewek__”. Kata-kata Aldi terputus ketika Elang menepuk bahunya.
“Jangan seperti anak kecil”. Katanya pelan.
“Eh iya, maaf kak, abisnya ini cewek ribet banget!”.
“Enak aja!!”. Mia mulai bereaksi lagi.
Udah-udah, kalian nggak bosen apa”. Aku berusaha menengahi.
“Sudah baikan?”. Tanya kak Elang sambil duduk di samping tempat tidur ku.
“Eh..Hmmm udah kok, makasi!”. Jawab ku agak gugup.
“Na, kami beli minum dulu ya!”. Seru Aldi tiba-tiba sambil menggeret Mia yang kelihatan ogah-ogahan ikut keluar brsama Aldi. Aku tahu Aldi sengaja meninggalkan kami berdua. Tapi yang membuat ku heran, sekilas Aldi memperhatikan ku dengan berlebihan. Aku sediki bingung dengan sikapnya, tapi sudahlah terserah dia, toh aku juga tidak ada rasa yang spesial buat Aldi dan sepertinya dia lebih cocok dengan Mia.
“Tadi sebelum pingsan kamu mimisan lagi?”. Tanya Elang mengejutkan ku.
“Eh iya. Loh dari mana kamu tahu?”. Aku balik bertanya keheranan.
“Kompliksi penyakit mu memang sepeti itu kan?”. Elang malah balik bertanya lagi, dan aku semakin heran mendengar pertanyaannya.
“Siapa bilang? Nggak kok!”. Kata ku mengelak sambil menggeleng.
“Sudah jangan pura-pura, ayah ku seorang dokter”. Katanya dengan tenang, sesuai karakternya yang dingin dan tidak terlalu banyak bicara.
“Sejak kapan?”. Aku kembali bertanya dengan wajah masih terkejut.
“Sejak kita kenal”.
“Aku minta tolong jangan___”
“Jangan khawatir”.
“Terimakasih”.
“Lebih baik sekarang kamu makan dan minum obat”.
Kak Elang mengambilkan ku makanan yang sudah disiapkan dari Rumah Sakit. Setelah itu kak Elang menaikan sandaran tempat tidur ku. Selanjutnya entah mendapat inspirasi darimana tiba-tiba kak Elang menyendokkan nasi dan mendekatkannya ke mulut ku bermaksud ingin menyuapi ku. Aku terkejut bercampur heran dengan sikap Elang.
“Ayo makan!”. Kata kak Elang sambil sedikit menggoyangkan sendok di depan mulut ku.
“Eh iya, iya”.
Akhirnya aku makan dengan disuapi kak Elang. Jujur aku benar-benar gugup tapi jauh di dalam hati ada perasaan hangat yang aneh merasuk ke dalamnya yang membuat aku merasa nyaman di dekatnya. Ya Allah perasaan apa ini? Bolehkah aku merasakannya pada orang yang mempunyai masa depan panjang dan cerah seperti kak Elang. Dia adalah cowok ganteng bertubuh sempurna dimata para cewek-cewek, pintar dan jenius. Aku rasa perasaan ini adalah perasaan yang salah, tidak seharusnya aku merasakannya, apalagi pada kak Elang. Tapi apa aku salah karena ingin menikmati ini semua hanya untuk saat ini saja? Aku yakin Allah tidak akan keberatan. Biarlah menit-menit ini aku anggap sebagai rahmat dari Allah untuk ku. Tapi semakin aku merasa nyaman, aku semakin tidak ingin saat-saat ini berakhir dengan cepat. Aku ingin lebih lama lagi merasakan getaran-getaran hangat dalam hati ku. Aku ingin waktu berhenti sesaat agar aku bisa lebih lama merasakan saat-saat seperti ini tanpa gangguan akhir yang akan membuat ku kecewa. Aku semkin terhanyut dalam buaian suasana yang membuat ku nyaman. Aku seperti bayi yang tenang dalam timangan sang bunda tercinta. Terhanyut hingga jika memang mata harus tertutup, aku tidak akan pernah menyesalinya.

Aku begitu tegang karena hari ini adalah jadwal operasi pengangkatan jaringan kanker tahap awal yang harus ku jalani. Aku berulang-ulang menghela nafas panjang untuk menyetabilkan detak jantung yang sedikit lebih cepat dari biasanya. Ya Allah aku benar-benar gugup, aku mohon beri aku ketenangan jiwa dan pikiran agar aku bisa melewati ini semua. Kuatkan aku ya Allah. Aku terus bedoa sambil terus meremas tangan ku untuk mengurangi rasa gugup. Bunda..aku butuh ditemani oleh bunda. Aku tidak ingin sendirian, aku ingin seseorang yang membuat ku nyaman ada bersama ku dan menemani ku disaat-saat menegangkan seperti ini. Aku menatap sekeliling ku yang penuh dengan gorden putih-putih. Aduh suasananya kok menjadi lebih menyeramkan sih?
“Jangan tegang, semua pasti beres. Dokter Irfan adalah dokter yang berpengalaman”. Kata perawat yang baru saja datang dan sekarang sedang berusaha menenangkan ku.
Mbak, boleh nggak bunda menemani ku di sini sebelum operasi dimulai? Sebentar saja, please!”. Kata ku setengah merajuk.
“Hmmm..baiklah, sebentar saya panggilkan”.
“Terimakasih mbak”.
“Iya, sama-sama! Tunggu ya”.
“He eh!”. Aku mengangguk.
Tidak lama bunda datang sambil mengusap air matanya. Kentara sekali kalau bunda juga benar-benar khawatir dengan apa yang akan aku hadapi selanjutnya. Tapi seperti biasa bunda tetap tersenyum walaupun wajahnya tidak kurang pucat dari ku.
“Sayang..jangan tegang ya. Serahkan semuanya pada Allah. InsyaAllah Allah pasti bersama kita dalam keadaan apapun. Jadi kamu jangan merasa sendirian nanti”. Setengah bebisik disela isak tangisnya bunda berusaha menenangkan ku. Bunda terus mengusap kepala dan mencium kening ku berulang-ulang.
“Iya bunda, makasi”.
Tiba-tiba perawat yang memanggil bunda datang lagi unuk memberitahukan bahwa semua sudah siap dan sudah waktunya aku dibawa keruang operasi. Sekali lagi bunda menguatkan ku dengan mencium kening ku penuh kasih sayang. Setelah itu aku dibawa keruangan putih-putih yang penuh berisi gunting dan alat-alat operasi lainnya. Lalu aku di suntik anastesi dan selanjutnya aku merasakan kantuk yang luar biasa hingga membuat ku tertidur dalam waku yang cukup lama.

Mata ku terbuka perlahan, samar-samar ku lihat bayangan bunda, Tata, Mia, dan Aldi berdiri di samping kiri kanan ku. Sepertinya mereka menjaga ku dari tadi. Berulang-ulang aku mengerjapkan mata unuk menormalkan pengelihatan ku. Setelah semua terlihat jelas, aku berusaha tersenyum walaupun kepala ku tearsa sangat pusing.
“Bunda”. Aku memanggil bunda perlahan. Hanya nama itu yang mampu ku ucapkan saat ini dan hanya sosok yang bernama bunda yang saat ini sangat aku butuhkan.
“Iya sayang, bunda disini. Apa kamu butuh sesuatu?”. Bunda bertanya dengan nada cemas yang tidak bisa Ia sembunyikan.
Aku hanya menggeleng.
“Kak Nani, jangan sakit dong. Aku kan jadi nggak punya temen ngobrol di rumah”. Kini giliran Tata yang merengek manja sambil memegang tangan ku dan menciumnya.
“Na, kamu baik-baik saja kan?”. Sekarang giliran Mia yang bertanya dengan penuh kekhawatiran. “Sebenernya kamu sakit apa sih, kenapa mesti pakai operasi segala?”.
“Sayang”. Aku tahu isyarat panggilan bunda.
“Bunda saja yang menjelaskannya, aku tidak kuat”. Kata ku dengan lemah.
“Mia..sebaiknya kita ngobrol-ngobrol di luar, yuk!”. Bunda mengajak Mia keluar kamar sambil menggandeng tangannya di ikuti Tata dari belakang.
“Gimana? Pasti masih pusing”. Kata Aldi santai sambil duduk di sofa.
“Hmmm...yeach seperti yang kamu duga”. Kata ku lemah. Aku sempat celingak celinguk pada sekeliling ruangan, entah kenapa aku berharap kak Elang ada di situ. Tapi sepertinya harapan ku sia-sia krena aku tidak menemukan sosok kak Elang dalam ruangan.
“Sebentar lagi kak Elang datang, dia hanya ke kantin membelikan susu segar untuk mu. Tenang aja, nggak lama kok”.
Komentar Aldi membuat ku sedikit terkejut namun tersipu karena sepertinya Aldi tahu perasaan ku. “Ah..nggak kok, siapa bilang aku mencarinya”. Kata ku berkilah.
“Siapa yang bilang kalau kau mencarinya? Aku nggak bilang gitu loh”. Balas Aldi santai sambil mengerutkan kening dan mengangkat kedua tanannya.
“Apa? Eh..”. Aku mulai tergagap.
“Sudahlah, hehehe...becanda kok ”.
Waduh! Sepetinya Aldi mulai jahil nih. Dasar! Anak ini kadang-kadang memang agak jeli juga dan terus terang saja ini membuat ku tidak nyaman karena sekarang tentu Aldi bisa melihat wajah ku yang seperti kepiting rebus. Tepat saat itu pintu terbuka dan sosok kak Elang yang jangkung muncul diambang pintu.
“Nih dia orang yang ditunggu-tunggu!”. Seru Aldi agak berlebihan.
“Sudah siuman?”. Tanya kak Elang sambil membuka kotak susu segar yang Ia bawa lalu menuangkannya ke dalam gelas tanpa menanggapi tingkah Aldi. Aku hanya menatapnya tanpa berkedip.
“Minumlah!”. Kak Elang menyerahkan segelas susu segar pada ku.
“Eh..terimakasih”. Kata ku tergagap.
Kak Elang duduk di sebelah Aldi yang sekarang memasang tampang yang sungguh membuat ku berniat untuk menjedotkan kepalanya ke pintu.
“Kapan mulai sekolah lagi?”. Tanya kak Elang mengerling pada ku.
“Eh..apa?”. Aku kembali tergagap, hampir saja susu yang ada di tangan ku berhamburan tumpah membasahi pakaian dan selimut ku.
“Sebentar lagi kita ujian akhir semester”. Kata kak Elang tanpa menangapi respon ku yang bisa dibilang aneh dengan sekali menatap wajah konyol Aldi.
“Ah iya, mungkin setelah aku keluar dari rumah sakit”.
Kak Elang hanya mengangguk menanggapi ku, dan terus terang ini membuat ku merasa bagaikan didalam oven bersuhu 1800C. Tapi saat melihat ekspresi Aldi yang masih membuat niat ku untuk menjedotkan kepalanya ke pintu muncul lagi, aku tahu sekarang niat ku sudah bulat untuk melakukannya.
Aku benar-benar bodoh! Kenapa mesti seugugup ini? Aku tidak seharusnya seperti ini. Aku sadar akan kondisi ku ini, aku takut bertepuk sebelah tangan. Mana ada cowok yang suka dengan gadis berpenykitan seperti aku ini? Cowok manapun bakalan nolak kalau harus berurusan dengan gadis yang hanya bisa menusahkan orang lain. Tapi..kenapa aku bisa berpikir seperti ini? Memangnya aku jatuh cinta pada kak Elang? Oh my god!! Jangan dong please...
Tapi sungguhpun aku berusaha melepaskan perasaan ini, perasaan ini semakin kuat dan seolah-olah meyakinkan ku bahwa aku memang mempunyai perasaan yang spesial buat kak Elang. Aku merasa perasaan ini sudah begitu lama terpenjara dalam hati ku, perasaan ini tidak asing berada dalam hati ku. Aku merasakan hangat yang menjalar dalam hati ku jika aku mengingatnya ataupun hanya menyebut namanya. Elang....begitu aku menyebutkan  namanya dalam hati, perasaan ku seolah-olah mengatakan bahwa aku memang mengenalnya jauh sebelum ini karena dia memang sosok yang tidak asing dalam bola mata ku. Sosoknya bagaikan sudah ku kenal jauh sebelum aku mengenal diri ku sendiri, jauh sebelum aku bisa membuka mata dan mengenal dunia nyata. Elang...sekali lagi aku menyebut namanya dalam hati ku untuk memastikan ini memang bukan sebuah mimpi.

Sudah dua minggu aku tidak masuk sekolah karena baru selesai operasi. Hari ini pun bunda masih tidak mengizinkan ku masuk sekolah. Katanya tunggu sampai aku benar-benar sembuh dan bertenaga untuk mengendarai motor metik yang baru bunda belikan seminggu yang lalu. Sebenanya aku tidak pernah meminta dibelikan motor, tapi bunda bersi keras untuk membelikannya. Katanya agar aku tidak terlalu lelah berdiri menunggu bis. Hmmm..bunda memang selalu memperhatikan dan memenuhi kebutuhan putra putrinya. Aku bangga mempunyai bunda seperti bunda yang ku miliki sekarang. Tidak ada yang bisa menggalahkan perhatian dan kasih sayangnya pada kami, aku benar-benar sayang pada bunda.
Aku duduk sambil menyemprotkan air ke tanaman pada pot-pot kecil disekitar teras rumah. Aku senang melakukan aktivitas ini setiap sore, ini membuat ku merasa damai dan tenang. Tidak lupa aku juga ditemani dengan lantunan murotal dari AR-Rifa’i, sungguh membuat hati damai.
“Assalammuallaikum!!!”.
“Waallaikkummussallam!”. Aku menoleh pada orang yang mengucap salam.
“Sudah merasa baikan?”.
Aku kembali memandang sosok itu tanpa berkedip. Sosok jangkung yang membuat ku selalu gugup dalam bersikap dan tergagap dalam berkata.
Kak Elang__”. Kata-kata ku terputus setelah melihat sosok dibelakangnya.
“Hai!!!”. Sapa Wulan dengan riang yang menurut ku sangat dibuat-buat.
“Ha..halo!”. Balas ku terbata-bata, aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan ku. Kenapa kak Elang bisa ke rumah ku bersama Wulan? Ah iya! Aku lupa, kak Elang dan Wulan kan memang misanan, jadi tidak aneh kalau mereka selalu berdua, apalagi mereka kan teman sepermainan sejak kecil.
“Siapa Na?”. Tiba-tiba bunda muncul dari dalam rumah. “Teman-teman mu?”. Bunda mengerling melihat kak Elang dan Wulan yang masih berdiri didepan gerbang. Sesaat bunda terlihat tersentak melihat mereka, tapi dengan cepat bunda mengubah ekspresi wajahnya. Entah kenapa, aku tidak tahu. Aku masih terlalu sibuk dengan pikiran ku sendiri. “Walah...temen-temen mu, mari masuk! Nggak baik tamu dibiarkan diluar”.
 “Makasi tante!”. Seru kak Elang dan Wulan serempak
Kak Elang dan Wulan lalu melangkah menuju teras dan duduk pada kursi santai yang berada tepat disebelah ku.
“Nah..sebentar tante bikinin kalian minum dulu”.
“Makasih tante nggak usah repot-repot”. Kata kak Elang dengan senyum tipisnya.
“Ah nggak kok!”. Seloroh bunda sambil lalu melangkah ke dalam rumah.
“Ternyata bunda mu lebih ramah daripada kamu ya Na?”. Komentar Wulan membuat ku sedikit mencium gelagat kurang baik. Walaupun nadanya riang tapi membuat jantung ku berdebar aneh. “Kenapa bengong? Apa ucapan ku terlalu berlebihan?”. Wulan kembali bertanya.
“Ah nggak kok”. Sahut ku memaksakan untuk tersenyum.
“Seharusnya kamu tadi nggak ikut”. Tanggap kak Elang dengan dingin sambil mengerling ke arah Wulan. Tapi sepertinya Wulan sama sekali tidak mendengarkannya atau memang dia sengaja tidak menghiraukan ucapan kak Elang.
“Silahkan diminum! Maaf cuma alakadarnya”. Tiba-tiba bunda muncul dengan nampan berisi air minum dan cemilan. Aku sempat berharap bunda menemani ku duduk di sini karena sekarang aku benar-benar mencium aroma permusuhan dari Wulan dan ini membuat suasana hati ku kurang nyaman.
“Ah..nggak tante, ini sudah lebih dari cukup”. Tanggap kak Elang dengan senyum ramah. Senyum yang manis, senyum yang jarang Ia lukiskan pada bibirnya yang tipis. Sejenak aku merasa tenang melihat senyum itu, akan etapi sesaat aku mengerling ke arah Wulan, aku melihat tatapan tajam yang seolah-olah ingin menusuk.
“Ya sudah kalau begitu tante masuk dulu ya!”. Setelah berbasa-basi bunda lalu masuk setelah sebelumnya mengusap kepala ku. Aku tersenyum tipis, senyuman putus asa.
“Oh ya Na, katanya kamu sakit keras ya?”.
Aku sedikit kaget mendengar pertanyaan Wulan yang tiba-tiba. Terlihat jelas karena aku langsung pucat mendengar pertanyaannya dan tanpa sadar aku langsung menunudukkan kepala sambil lalu mulai meremas kedua tangan ku. Sempat aku mengerling ke arah kak Elang, aku melihat rona ketidak sukaan pada wajahnya.
“Iya”. Hanya itu yang mampu aku ucapkan.
“Wah...parah dong!”.
“Begitulah”.
“Katanya penyakit mu menular ya? Kalau menular berarti gawat dong, kalau kamu bersentuhan dengan satu sekolah, bisa-bisa satu sekolah terkena penyakit mu!”. Kata Wulan dengan santai seolah-olah kata-katanya tidak akan menyakitkan menusuk dada ku yang kini terasa sangat nyeri.
“Wulan”. Elang bergumam memperingatkan.
“Hmmmm...kalau nggak menular, yeach paling-paling entar kamu sering pingsan dan sakit-sakitan di sekolah. Hmmm...kamu bakalan ngerepotin lagi kayak yang udah-udah. Jadi menurut ku lebih baik kamu itu diem-diem aja di rumah dan jangan___”.
PPLLLAAAAKK!!!
Tiba-tiba kak Elang menampar Wulan dan tamparan ini tentu saja membuat Wulan berhenti mengoceh. Tapi aku benar-benar tidak bisa menggambarkan ekspresi wajah Wulan yang pucat pasi dengan pandangan nanar ke arah kak Elang.
“Kak Elang..”. Kata Wulan sambil berurai air mata.
Apa yang__”. Aku hanya mampu bergumam pelan.
“Kak Elang bener-bener menampar aku hanya gara-gara cewek yang nggak tahu malu ini?!”. Seru Wulan dengan amarah yang sulit terbendung.
“Sudah Wulan!”. Balas Elang tidak kalah kerasnya.
“Dulu sampai sekarang kak Elang selalu membelanya, apa kak Elang udah nggak memperhatikan ku? Aku juga sakit karena kesepian kak! Kak Elang malah memperhatikan cewek kampung penyakitan ini. Apa kak Elang nggak ingat derajat kita? Kak Elang nggak inget pesen nenek? Aku adalah tanggung jawab kak Elang”.
“Kamu masih punya orang tua”. Tanggap Elang pelan, namun terlihat jelas dia masih menahan kemarahannya karena kini otot-otot wajahnya mulai menegang.
“Tapi kak! Dia juga masih punya orang tua. Lagipula hidupnya juga tidak akan lama lagi, jadi buat apa kamu harus memperhatikannya sampai sekarang? Kak Elang sudah tidak mempunyai tanggung jawab lagi!”.
Ya Allah sebenarnya ada apa ini? Kenapa mereka bertengkar gara-gara aku? Tapi apa maksud kata-kata Wulan tadi? Dari dulu sampai sekarang? Kak Elang sudah tidak mempunyai tanggung jawab lagi memperhatikan ku? Apa maksudnya semua itu? Ya Allah aku benar-benar bingung, aku tidak tahu harus berkata apa, kuatkan aku ya Allah!
“Sudah cukup Wulan! Sekarang kamu pulang!!”. Sepertinya amarah kak Elang sudah sampai ke ubun-ubun kepalanya. Terlihat dari wajahnya yang sekarang mulai memerah akibat menahan marah.
“Ok fine!! Tapi inget aku nggak akan mengalah secepat ini!!!”. Wulan berlari keluar sambil menangis meninggalkan rumah ku. Aku hanya terpaku berdiri tanpa bisa berkata apa-apa. Aku benar-benar tidak menyangka kak Elang bisa berbuat seperti itu. Tapi jauh di dalam hati ku, aku bersyukur karena aku meraa dibela oleh orang yang aku harapkan. Akan kah aku jahat karena merasa tenang dibela oleh kak Elang? Tapi aku benar-benar membutuhkan itu sekarang. Lutut ku bergetar hebat karena syok, aku kembali duduk dengan wajah sepucat kertas.
“Maaf, tapi sepertinya aku harus melakukannya”. Kak Elang duduk dengan wajah pias.
“Makasi..ah tidak maksud ku..”. Aku kembali tergagap.
“Sudahlah aku mengerti perasaan mu, Wulan memang keterlaluan. Dia terlalu manja untuk bersimpati pada orang lain”.
“Tapi aku heran, kenapa Wulan mengatakan kalau kamu membela ku dari dulu sampai sekarang, apa maksudnya?”. Aku bertanya dengan penasaran menanggapi perkataan Wulan yang sulit ku mengerti.
“Kamu benar-benar belum mengingatnya?”. Tanya kak Elang tidak kalah herannya.
“Ingat apa?”. Kata ku bertanya lagi.
“Berarti penyakit mu sudah sampai pada stadium lanjut”. Kata kak Elang tenang seolah-olah apa yang baru dia katakan adalah sesuatu hal yang tidak perlu dicemaskan.
“Kalau itu aku sudah tahu”. Tanggap ku dengan nada kurang bersemangat.
“Kami ada bersama mu disaat kamu membutuhkan”. Kata kak Elang sambil berdiri dan mengusap kepala ku dengan penuh arti. “Ya sudah kalau begitu aku permisi dulu, aku harus menyusul Wulan, takut nanti anak itu berbuat macam-macam pada orang yang tidak bersalah. Kamu cepat sembuh ya! Sampai jumpa besok di sekolah”.
Kak Elang beranjak dari tempat duduknya dan berlalu menghilang masuk dalam mobil. Aku menatapnya dengan penuh keheranan, sebenarnya ada apa? Apa maksud perkataan Wulan tadi? Dari dulu sampai saat ini, apa maksudnya? Aduh!! Aku jadi pusing sendiri karena hal ini. Biarlah besok aku tanyakan kembali pada kak Elang. Ah..aku mulai masuk besok pagi, senangnya bisa ketemu sama temen-temen!!
Keesokan paginya aku bangun pukul 05.00 subuh. Ku hirup udara pagi yang sejuk, hmmm..sungguh menyegarkan! Aku segera mandi dan mengambil air wudu, setelah itu aku pergi ke mushala kecil dekat kamar bunda untuk shalat subuh berjamaah sperti biasanya. Setelah itu aku ke kamar dan mulai bersiap-siap ke sekolah lalu aku segera beranjak ke ruang makan untuk sarapan pagi bersama Tata dan bunda. Yeach inilah rutinitas ku setiap pagi, rutinitas yang menyenangkan untuk ku karena ini sudah ditanamkan bunda sejak aku kecil sampai saat ini. Lakukan kegiatan apa pun selagi kamu bisa dan ada kesempatan!
“Pagi semuanya!!”. Sapa ku dengan riang sambil mengecup pipi bunda dan mengacak rambut Tata seperti biasanya, tapi anehnya kali ini Tata tidak protes seperti biasanya. Nah ini sangat langka, apa anak ini sakit? Aku meletakkan tangan ku pada keningnya, tidak panas kok.
“Aku senang kalau kak Nani senang, jangan sakit lagi ya kak”.
Ya Allah! Kata-kata Tata bagaikan angin sejuk di tengah kemarau yang sedang melanda hati ku, bagaikan air dingin yang menghapuskan rasa dahaga yang tak kunjung berujung dalam diri ku, bagaikan api unggun yang menghangatkan ku di tengah musim dingin. Anak sekecil ini ternyata bisa merasakan penderitaan ku yang dengan susah payah aku sembunyikan darinya. Terimakasih ya Allah karena Engkau masih memberikan ku kesempatan merasakan kebahagiaan ini. Dikelilingi oleh orang-orang yang sangat aku cintai dan sangat mencintai ku. Aku benar-benar bersyukur, alhamdulillah!
“Sayaaang!”. Aku merentangkan tangan lalu memeluk erat-erat tubuhnya yang gembul. Hangat yang nyaman ku rasakan mengalir dalam tubuh ku. Tidak terasa air mata ku mengalir deras tanpa bisa ku tahan, tapi ini bukan air mata kesedihan, ini adalah air mata haru dan bangga serta air mata syukur.
“Kak Nani kok nangis?”. Tanya Tata sambil mengusap air mata ku.
Nggak sayang, ini namanya air mata bahagia, air mata bangga karena mempunyai adik sepintar kamu!”. Aku kembali mengacak rambut tebal adik yang paling aku sayangi.
“Berarti aku adalah orang yang membanggakan dong?!”. Seru Tata dengan riang sambil menaikkan tinjunya ke atas.
“Oh tentu saja! Dari dulu sampai sekarang!”. Balas ku berseru sambil ikut menirukan Tata mengangkat tinju ke atas lalu sesekali mengerling ke arah bunda. Bunda terlihat ikut tersenyum sambil meneteskan air mata haru melihat tingkah polah kami berdua.
“Nah sekarang kita sarapan yuk! Entar nasi gorengnya keburu dingin”. Kata bunda sambil memberikan kami piring lalu menuangkan susu untuk kami.
Kami bertiga sarapan dengan lahap sambil sesekali bercanda-canda riang. Pagi ini sungguh awal yang menyenangkan, awal yang bagus untuk memulai hari ku. Membangun kembali puing-puing semangat yang sempat runtuh hingga menjadi kepingan-kepingan yang hampir tidak bisa disatukan lagi. Tapi hari ini aku benar-benar mempunyai semangat yang luar biasa, semangat baru yang muncul dari dukungan-dukungan orang yang aku cintai.
“Bunda aku berangkat dulu ya!”. Seru ku berpamitan pada bunda dan mengecup keningnya sayang.
“Nani!”. Bunda kembali memanggil ku.
“Ya bunda”. Sahut ku berbalik lalu menghampirinya lagi.
“Kamu ingatkan harus menyerahkan hasil CT SCAN pemeriksaan terakhir pada dokter Irfan hari ini? Apa kamu sudah membawanya?”. Tanya bunda mengingatkan kalau hari ini aku mempunyai jawal therapy dengan dokter Irfan.
“Iya bunda ku sayang, aku ingat kok! Don’t worry okey?!!”. Seru ku sambil mengerlingkan mata dan mengacungkan jempol. “Aku berangkat, assalammuallaikum!”.
“Waallaikkummussallam!”.
“Apa kamu yakin bisa pergi sendiri?!!!”. Bunda kembali berseru diambang pintu.
“Yakiiiinn!!!”. Balas ku berseru sambil memasang helm. “Udah ya bunda daaagg!!”. Aku melajukan motor ku dengan kecepatan sedang di jalan yang agak lembab karena hujan semalam. Sekali lagi ku hirup udara pagi yang menyegarkan, hmmmm..udara yang menyegarkan kini penuh mengisi paru-paru ku. Sungguh menyejukan dan membuat nafas plong!
Motor terus melaju keluar komplek memasuki jalan raya yang penuh dengan kendaraan berasap, terang saja udara disini tidak terjamin kebersihannya, lihat saja kendaraan yang lalu lalang di jalan dan sebagian besar mengeluarkan asap hitam tebal. Saat aku melewati stasiun terlihat para makelar mulai melakukan pekerjaan mereka, disana juga terlihat para pedagang asongan dan pedagang koran mulai menjajakan barang dagangan. Toko-toko dipinggir jalan juga sudah mula mencari rizki untuk keluarga mereka. Jalanan juga sudah mulai ramai oleh kendaraan yang lalu lalang. Suasana pagi yang hampir seumur hidup aku lihat tiap pagi. Tapi kali ini aku benar-benar senang menikmati suasana pagi ini, mungkin karena aku sadar kalau aku tidak mempunyai waktu yang lama untuk menikmati suasana seperti ini. Aku tidak lagi merasa menyesal ataupun terpuruk dengan keadaan ku saat ini, malah aku merasa bersyukur karena dengan keadaan ku saat ini aku benar-benar bisa merasa dekat dengan Sang Khalik. Alhamdulillah! Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa karena ini adalah yang terbaik menurut Allah untuk ku, jadi apalagi yang aku tuntut? Aku sudah mempunyai keluarga dan sahabat yang selalu mendukung ku dalam keadaan apapun dan aku benar-benar bersyukur atas itu. Kalaupun aku tidak mengalami penyakit ini, aku tidak akan pernah menyadari kenikmatan yang luar biasa yang Allah limpahkan untuk ku. Sungguh hari ini hati ku benar-benar tebuka, semua sudah ku serahkan kepadaNya, apapun keputusanNya kelak, itu adalah yang terbaik untuk ku.
Sampai di sekolah aku parkirkan motor ku ditempat parkir siswa siswi yang berada dibelakang gedung sekolah kami. Aku menghela nafas panjang tak kuasa menahan luapan kegembiraan karena sebentar lagi aku akan kembali hidup layaknya seorang siswi SMU lainnya. Walaupun sebenarnya aku tahu itu tidak akan berlangsung lama, tapi bagi ku itu tidak mengapa karena itu tidak akan menghalangi kebahagiaan ku menyongsong masa indah bersama teman dan sahabat ku.
Aku berjalan dengan nafas sedikit memburu karena rasa rindu akan Mia dan yang lainnya membuncah, seolah-olah ikut berlari mengejar nafas ku yang berebut ingin keluar bergabung dengan angin segar pagi ini. Tapi sesampai di koridor utama didekat mading sekolah langkah ku terhenti karena aku melihat kerumunan siswa siswi didepan salah satu mading sekolah. Kayaknya ada berita seru nih! Apa ya? Aku melangkahkan kaki dengan setengah berlari penuh rasa penasaran. Ditengah kerumunan aku juga melihat Mia berdiri meloncat-loncat berusaha melihat ketengah kerumunan yang semakin lama semakin banyak.
“Mia!!”. Panggil ku sambil melambaikan tangan.
Mia menoleh, lalu balas melambai sambil menunjuk-nunjuk kearah kerumunan dengan wajah cemas yang aneh. Mia kenapa ya? Aku mempercepat langkah ku menghampiri Mia, aku semakin penasaran sebenarnya ada apa.
“Kenapa sih?”. Tanya ku penasaran pada Mia sambil ikut celingak celinguk.
“Itu, itu”. Jawab Mia sambil menunjuk-nunjukkan jarinya ketengah kerumunan. Bersamaan dengan itu bagaikan dikomando, semua kerumunan itu memandang ku dengan pandangan aneh yang sulit ku jelaskan untuk saat ini. Dengan sedikit tidak memperdulikan sikap teman-teman ku, aku segera mendekat kedepan mading dan disana terpampang jelas tulisan yang berbunyi :
AWAS PENYAKIT MENULAR MEWABAH!!!
SISWI SEKOLAH INI SUDAH TERJANGKIT
“NANI AMELIA PUTRI”
Aku bagaikan tersengat listrik berkekuatan 1000 VOLT membaca tulisan yang entah siapa yang tega menempelkannya di mading. Tanpa ku minta air mata ku mengalir deras dengan sendirinya. Lutut ku lemas tidak bisa menopang bobot tubuh ku. Siapa yang tega melakukan ini semua? Aku merasa aku tidak punya musuh di sekolah ini, siapa? Siapa? Dalam ketidak mengertian aku terus bertanya-tanya dengan kebingungan yang hampir saja membuat ku runtuh kembali menjadi puing-puing.
“Na, nggak usah terlalu dipedulikan, itu hanya kelakuan orang yang sirik sama kamu aja. Beneran deh”. Mia mencoba menenangkan ku sambil mengusap-usap punggung ku. Mia tahu persis perasaan ku sekarang karena hanya dia yang tahu kebenarannya selain kak Elang dan Aldi.
“Apa itu betul Na?”. Salah seorang dari kerumunan itu mulai membuka pertanyaan yang saat ini aku benar-benar tidak kuasa menjawabnya.
“Kalau emang semuanya bener, berarti kita dalam bahaya dong?”. Kembali yang lain menyahut membuat kerumunan itu kini berbisik-bisik ramai.
Nggak kok, Nani nggak punya penyakit menular!! Itu semua hanya fitnah!!”. Seru Mia membela ku dengan tidak melepaskan pelukannya yang kini setengah ambruk karena syok.
“Kalau nggak bener, terus kemarin Nani sakit apa? Kok nggak ada yang boleh tahu dia sakit apa? Nggak ada yang boleh bertanya pada guru, kenapa semua seolah-olah ditutupi?”.
“Itu karena..hmm__”. Mia tidak mungkin mengatakan kalau aku penyakit kanker karena dia merasa ini bukan waktu yang tepat dan aku berpikir sama dengan Mia.
“Nah kamu aja nggak bisa menjawab, berarti bener dong?”.
“Ya, bener,bener...”. Seru semua kerumunan sambil berjengit menatap kami berdua sedangkan aku hanya bisa menangis pasrah tidak bisa bicara sepatah kata pun untuk membela diri dari semua tuduhan ini.
Aku terlalu syok, aku benar-benar tidak menyangka ini akan terjadi karena rasanya baru sedetik yang lalu aku merasakan kebahagiaan dan rasa syukur yang amat sangat. Tapi sekarang aku tengah rapuh dalam gelombang badai yang tiba-tiba mengamuk menghancurkan dan meluluhlantakan semuanya termasuk semangat ku yang baru saja ku tata kembali. Akankah aku terpuruk dalam gelombang gelapnya malam yang panjang? Apakah badai ini akan segera berlalu? Ya Allah aku ingin mengakhiri detik-detik yang tersisa untuk ku dengan tawa penuh kebahagiaan, ku mohon ya Allah!
“Ada apa ini?”. Tiba-tiba kak Elang datang bersama Aldi membelah kerumunan yang terasa memenjarakan ku dalam lingkaran penuh keterpojokan yang membuat lidah ku kelu.
“Kenapa semuanya berkumpul disini? Bukannya bel sudah berbunyi? Kembali ke kelas kalian masing-masing!!”. Seru kak Elang dengan lantang sehingga kerumunan itu serempak mengiyakan dan segera bubar.
“Makasih!”. Ucap Mia setengah berbisik menahan tangis.
“Kebodohan apa lagi ini?”. Tanya Elang, ucapannya tidak seperti pertanyaan tapi lebih kepada kemarahan. Dia brjalan kearah mading dan mencabut pengumuman menjadi pusat masalah lalu setelahnya dia merobek dan membuangnya ke tempat sampah.
“Kamu nggak apa-apa?”. Tanya Aldi khawatir kepada ku.
Aku hanya menggeleng hampa.
“Mia masuklah, biar aku yang mengurus Nani”. Belum sempat Mia menjawab, tiba-tiba kak Elang merangkul lalu menggendong ku. Aku benar-benar terkejut dengan sikapnya ini. Tapi aku memang tidak kuat untuk berjalan, lutut ku benar-benar lemas. Saat ini aku memang butuh dukungan dan perhatian kak Elang. Salah kah jika aku seperti ini? Aku mohon jangan ada yang menyalahkan ku kali ini. Aku memeluk kak Elang erat, terasa nyaman dan perlahan hati ku merasa tenang. Ternyata kak Elang mampu meredakan badai yang tadi sempat mengamuk dihati ku.
“Aldi kamu masuk dulan ke kelas bersama Mia, aku akan bawa Nani ke ruang UKS”.  Kata kak Elang menyarankan dengan nada tegas bagaikan seorang pemimpin.
“Baik aku mengerti”. Sahut Aldi sambil mengerling kearah Mia dan mereka berbalik menaiki tangga yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Untunglah disaat seperti ini mereka tidak bertengkar, bahkan akhir-akhir ini mereka terlihat sangat akur. Syukurlah berarti dua negara sedang mengadakan perjanjian damai.
Aku benar-benar tidak menyangka seorang Elang mau melakukan ini untuk ku. Sebenarnya ada apa dengannya? aku benr-benar tidak mengerti dengan sikap kak Elang akhir-akhir ini. Dia sangat perhatian pada ku. Jujur aku bahagia dengan semua perhatian yang diberikan kak Elang pada ku. Aku merasakan ketentraman jauh didalam lubuk hati ku, sepertinya semua kegelisahan dan kegundahan ku hilang bila aku berada didekatnya. Apakah aku boleh merasakan kebahagiaan ini sebentar saja? ah ku rasa Allah tidak akan keberatan, sebentaaar sja.
Degub jantung ini semakin keras saat merasakan hembusan nafasnya yang sangat dekat dengan ku. Tapi aku benar-benar takut kalau-kalau saja kak Elang bisa mendengar degub jantung ku. Akan kah dia bisa mendengarnya? akan kah dia akan tahu perasaan ku padanya? perasan yang tumbuh dengan sendirinya. Rasa yang membuat ku mampu tersenyum bahkan menangis terharu seperti saat ini. Namun dibalik kebahagiaan ini aku juga takut kalau Wulan akan membenci ku jauh lebih dalam dari sebelumnya karena sepertinya dia tidak begitu nyaman dengan kedekatan ku bersama Elang. Jika Wulan tahu aku punya perasaan yang spesial pada Elang, dia pasti tidak akan menerimanya, entah apa yang akan dia lakukannya pada ku. Aku benar-benar tidak mau membayangkannya saat ini. Biarkanlah semua berjalan seperti air yang mengalir.
“Istirahatlah”. Kak Elang menidurkan ku disalah satu tempat tidur ruang UKS.
“Terimakasih”. Aku menundukan kepala tidak berani menatapnya. Aku takut dengan sekali menatap mata ku kak Elang akan tahu perasaan ku padanya. Dan aku tidak mau itu terjadi karena aku tidak mau kak Elang merasa kasihan pada ku.
“Jangan terlalu memikirkan masalah tadi, aku akan segera membereskannya”. Kak Elang berusaha menenangkan ku, sepertinya aku menundukkan pandangan diartikannya dengan salah. Mungkin kak Elang berpikir aku sedng mencemaskan masalah soal pengumuman di mading sekolah. Yeach..walaupun sebenarnya aku juga memang mencemaskan masalah itu, tapi tadi sejenak aku benar-benar melupakannya dan itu hanya jika aku bersama kak Elang.
“Nggak kok, aku nggak terlalu mencemaskannya”.
“Kau yakin?”.
“He-eh”. Aku mengangguk.
“Syukurlah”. Elang mengusap kepala ku. Sejenak aku mencim aroma tubuhnya yang khas. Aku tidak bisa memungkiri  bahwa aku benar-benar mempunyai perasaan spesial untuk kak Elang.
“Kamu tidak apa-apa sendiri dulu? Aku akan kembali ke kelas. Nanti setelah jam istirahat aku akan kembali ke sini”.
Aku sediki tersentak. “Ah iya, jangan khawatir”.
“Ya udah,  aku pergi dulu”. Sekali lagi kak Elang mengusap kepala ku lalu berbalik pergi meninggalkan ku yang terpaku, dan tengah berkutat dengan perasaan yang sangat tidak ku mengerti. Aku masih bingung dengan perasaan yang tiba-tiba hadir dalam hati ku untuk kak Elang. Entah ini perasaan untuk seorang cowok atau lebih kepada perasaan untuk seorang kakak karena kak Elang selalu melindungi ku disetiap aku mendapatkan  masalah? Entahlah..
Kenapa kak Elang membuat aku bingung dengan sikapnya ini? Huuuhh..benar-benar membuat hati ku geregetan. Tapi kadang-kadang aku merasa perhatiannya ini sudah tidak asing lagi. Bahkan aku menerimanya dengan senang hati, padahal aku  baru saja mengenalnya beberapa bulan ini. Biasanya aku akan sulit merasa terbiasa dengan orang lain, namun dengan kak Elang sungguh aku merasakan perbedaan yang menonjol dalam hati ku. Bahkan aku merasa dia seperti seorang kakak yang selalu melindungi ku dan selalu ada untuk ku disaat aku membutuhkannya. Perasaan ini membuncah bagaikan mata air yang terus mengalir pada sebuah wadah yang sudah lama kosong. Terus mengalir untuk mengisi kekosongan sungai yang sudah lama kering oleh semangat karena kemarau panjang.
Inilah perasaan yang mampu membuat ku melupakan segalanya, aku dapat melupakan penyakit ku bahkan aku lupa kalau umur ku tidak lama lagi akan sampai pada penghujung usianya. Walau perasaan ini begitu dekat, namun terasa sulit untuk ku genggam sepenuhnya. Seperti layang-layang. Aku bisa menggenggam dan meraut benangnya tapi aku tidak bisa menggapai layang yang jauh berada diatas. Diatas langit biru yang luas, bebas bergerak ke segala arah. Kak Elang bagaikan bintang yang paling terang diantara bintang-bintang lainnya. Cahayanya sungguh menyilaukan bagi siapapun yang memandangnya, tapi aku merasakan hangat apabila cahanya menyinari ku walaupun hanya sebuah percikan.
JEBBLAAAKK!! Pintu terbuka kasar.
“Halo!!”. Wulan tiba-tiba masuk lalu tanpa basa basi dia langsung duduk tepat didepan ku dengan jarak yang tidak normal. Aku menatap matanya, sungguh tatapan yang tidak biasa. “Kau puas dengan kejutan ku?”. Bisiknya pelan ditelinga ku.
“Kejutan? Jadi kau yang__”.
“Jauhi Elang! Jangan munculkan lagi tampang memelas mu didepannya. Cukup sudah! Aku bener-bener muak dengan sikap mu yang pura-pura. Jangan kamu pikir aku bakalan diem dan terus mengalah seperti dulu, kau salah Nani Amelia Putri!!” Kini Wulan memicingkan matanya dengan ekspresi ganjil mengerikan.
“Tapi aku nggak__”.
“Jangan pura-pura amnesia lagi!!!”.
“Apa maksud mu?”.
“Dan jangan pura-pura tolol”. Jarak wajah Wulan kini semakin dekat dengan wajah ku yang menyebabkan aku harus mundur tiga puluh senti ke belakang. “Ini hanya peringatan, kalau kau sampai berbuat yang nekat, kamu akan ku hancurkan dengan sedikit jentikan jari maka bunda dan adik mu akan tidur dibawah kolong jembatan. Kamu mengertikan maksud ku?”.
Aku hanya mengangguk tapi tetap tidak mengerti.
“Bagus, aku rasa kamu bukan siswi yang bodoh”.
“Aku, aku masih nggak ngerti”.
“Jangan membuat ku berbuat lebih jauh dari ini, aku sudah cukup bersabar”. Wulan berdiri lalu berbalik, sepertinya dia siap untuk pergi, tapi langkahnya terhenti.
“ Catat ini baik-baik, keluarga ku berkuasa dimana saja”.
Wulan pergi meninggalkan ku yang penuh dengan ketidak mengertian yang luar biasa. Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan, tapi sepertinya Wulan sudah benar-benar menghapus aku dari daftar temannya. Aku benar-benar tidak mengerti dengan kebencian Wulan terhadap ku. Dan apa maksud kata-katanya tadi? Dia sudah cukup bersabar? Dari dulu? Dari dulu apa? Bukannya aku baru saja kenal dengan Elang beberapa bulan ini?
Sejuta pertanyaan menggerayangi kepala ku. Sampai aku benar-benar pusing dibuatnya. Semua kejadian yang tidak mengenakkan ini terjadi begitu tiba-tiba dan tidak disangka. Dan yang membuat ku bertambah syok, aku sama sekali tidak mengerti duduk persoalannya. Lalu aku harus bertanya pada siapa? Haruskah kutanyakan ini pada Elang? Itu sangat tidak mungkin, masalah ini akan semakin rumit kalau Elang sampai tahu perselisihan antara aku dan Wulan. Kalau ku tanya Wulan, akan kah dia mau menjelaskannya pada ku? Dilihat dari sikapnya tadi, Wulan tidak akan mau menjelaskannya bahkan mungkin melihat ku saja dia akan memasang tatapan seperti tadi. Aku tidak akan sanggup melakukannya, jika aku tidak meminta penjelasan pada Wulan, lalu pada siapa? Aaarrrgg!! Aku benar-benar bingung!!!
Ya Allah sebenarnya ada apalagi ini? Kuatkan aku ya Allah, jangan biarkn aku terpuruk lagi. Jangan biarkan aku putus asa dalam ketidak berdayaan ku. Aku mengusap wajah ku dengan kedua telapak tangan, lalu mencoba memejamkan mata untuk menenangkan diri.
“Nani..apa kau sedang tidur?”.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata mendengar suara yang membangunkan ku.
“Mia, kapan kamu dateng?”. Aku langsung memeluk Mia dengan perasaan syukur kalau ternyata aku masih punya sahabat seperti Mia yang selalu membuat ku tersenyum disaat seperti ini.
“Loh-loh, ada apa?”. Tanya Mia heran menanggapi tingkah ku yang agak aneh.
Aku hanya menggeleng pelan. Tampak Mia tidak terlalu yakin dengan pengakuan ku. Sebenarnya aku ingin sekali mengatakan yang sebenarnya pada Mia dan menanyakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa menjawab pertanyaan ku saat ini. Tapi itu tidak mungkin, aku takut, bagaimana kalau apa yang dikatakan Wulan benar. Kalau keluarga ku akan tinggal di kolong jembatan jika aku nekat melakukan hal-hal yang dia tidak sukai. Ya Allah sebenarnya ada apa? Aku benar-benar belum spenuhnya paham dengan permasalahan yang menimpa ku saat ini. Semua ini belum jelas bagi ku. Jika terus seperti ini, maka permasalahan ini tidak akan pernah ada ujungnya. Dan aku akan terpaksa memilih untuk menuruti kata-kata Wulan karena aku tidak mau melihat bunda dan Tata menderita karena aku. Sudah cukup bunda menderita karena lelah memikirkan penyakit ku, jangan ditambah lagi dengan permasalahan aku dan Wulan. Keluarga Wulan memang keluarga yang cukup berkuasa di negara ini. Keluarga Wulan adalah keluarga pemegang bisnis terbesar dan hampir mempunyai saham dimana-mana, bukan tidak mungkin jika dia bisa mendepak seluruh keluarga ku ke dalam lumpur, dengan sekali jentikan jari maka politik licik akan berjalan dan habislah semuanya. Tentunya aku tidak mau itu terjadi.
“Hey! Nani..”. Mia memanggil ku dengan nada hampir berbisik.
Aku hanya diam dengan linangan air mata.
“Udahlah..kamu jangan terlalu memikirkan masalah yang tadi. Kamu kan sudah denger, kak Elang akan membereskan semuanya. Aku yakin dia bisa menemukan pelakunya. Kamu tenang aja ya Na”.
Nggak Mia, semua itu ngak perlu karena aku udah tahu pelakunya. Tapi aku nggak bisa bilang sama kalian karena aku nggak mau melibatkn kalian. Biarlah aku menanggungnya sendiri. Sudah cukup kalian memusingkan urusan ku.
“Na, kenapa kamu diem aja?”.
“Ah, apa? Mmmm..nggak apa-apa kok”. Aku mencoba berkilah.
“Beneran nggak apa-apa?”. Mia kembali bertanya karena sepertinya Mia tidak terlalu yakin dengan jawaban ku.
Aku hanya menggangguk pelan.
“Ya udah kalau kamu nggak mau cerita. Entar aja ceritanya, yang penting sekarang kamu harus makan dulu. Nih! Aku bawakan roti panggang dan teh hangat kesukaan mu”.
“Tapi Mi aku nggak ada naf__”.
“Eits! Nggak ada tapi-tapian, cepet makan!!”. Mia mengambilkan roti bakar yang dibawanya dari kantin lalu menyerahkannya pada ku dan mau tidak mau aku memakannya juga. Sungguh baru ku sadari kalau ternyata Mia benar-benar pehatian pada ku dalam hal sekecil apapun.
“Makasih ya Mia”.
“Untuk?”.
“Everyting”.
“Udah ah, nggak usah lebay!”. Seloroh Mia tertawa lepas membuat suasana kembali mencair dan masalah tadi sedikit bisa terlupakan.
“Gimana, udah ngerasa enakan?”. Tiba-tiba kak Elang muncul dipintu di ikuti Aldi dari belakang.
Aku tersenyum pahit saat melihat kak Elang. Aku merasa ini bukanlah saat yang tepat untuk bertemu dengannya  karena belum satu jam Wulan menutup pintu UKS setelah datang mengunjungi ku dengan “keramahannya” yang luar biasa. Tapi setelah ku pikir-pikir tidak apalah untuk sekali ini saja, mungkin ini adalah saat terakhir ku untuk dekat dengan kak Elang. Terdengar menyedihkan memang, tapi itulah kenyataannya.
“Kamu ngapain lagi ke sini?”. Aldi terlihat mengernyitkan dahi menanggapi pertanyaan ku, tapi Elang terlihat tetap tenang.
“Aku tanya, ngapain lagi kamu kesini?”. Ku ulangi pertanyaan sepelan mungkin, aku masih takut membuatnya tersinggung walaupun hanya sekedar untuk berpura-pura. Tapi kak Elang tetap diam membisu seolah-olah dia tahu aku tidak sungguh-sungguh menanyakannya. Aku kembali menunduk tidak berani menatap sorotan matanya yang tajam bagaikan dapat menembus hati ku.
“Na, kamu apa-apaan sih? Jangan gitu, bukannya kak Elang yang menolong mu tadi?”. Kata Mia mencoba memperingatkan ku, sebenarnya tanpa Mia ingatkan juga aku memang sudah tahu itu. Tapi aku juga bingung kenapa aku bisa mengeluarkan pertanyaan bodoh seperti itu.
“Biarin dia mengatakan apa yang mau dia katakan”. Ucap kak Elang tenang.
Aku mendongak mendengar ucapan kak Elang yang membuat ku sungguh tidak bisa berpura-pura tidak peduli, apalagi sampai berpura-pura membencinya atau menjauhinya seperti yang di inginkan Wulan.
“Oh..kalian sudah berkumpul disini rupanya”. Bu Rossy guru BP sekaligus guru yang menjaga ruang UKS datang dengan senyum ramahnya. “Kamu punya sahabat-sahabat yang menarik Nani”. Selorohnya santai.
Aku kembali diam menanggapi kata-kata bu Rossy. Tapi sepertinya dia tidak terlalu fokus dengan ku, malahan dia lebih sering mengerling ke arah kak Elang yang membuat ku mau tidak mau sempat menyangka kalau bu Rossy ternyata menaruh simpati pada kak Elang. Tapi itu tidak penting sekarang, yang penting adalah aku bisa menjauh dari kak Elang untuk menghindari serangan beruntun dari Wulan.
“Kok pada diam semua? Apa aku mengganggu?”. Tanya bu Rossy dengan melebarkan mata bundarnya tanda keheranan dan itu membuatnya terlihat semakin cantik.
“Nggak mengganggu kok bu guru yang cantik, ibu sama sekali nggak mengganggu kita. Kita hanya sedang ngobrol santai aja”. Seloroh Aldi dengan sesekali mengedipkan matanya yang nakal saat mengatakan cantik, dan jelas ini membuat guru muda cantik nan seksi itu terlihat tersipu.
“Ah kamu bisa saja!”. Balasnya tidak kalah genit.
“Bukannya bu guru kesini ada keperluan?”. Tanya kak Elang pada bu Rossy mengubah topik pembicaraan, jelas dia tidak merasa nyaman dengan sikap antara siswa dan guru ala Aldi dan bu Rossy.
“Ah iya, aku hampir lupa! Aku kemari mau mengambil tas. Hmmm..makasih udah di ingetin ya”. Bu Rossy mengambil tasnya sesudah sebelumnya  mengedipkan mata sedetik ke arah kak Elang yang disambut dengan ekspresi ganjil tidak nyaman.
“Bu guru cantik kalau lagi mengerlingkan mata”. Puji Aldi lagi membuat guru yang centil ini tambah tersipu. Jelas sekali kalau Aldi memang suka menggoda guru yang satu ini.
“Ehm, ehm!!”. Mia berdehem dengan suara yang tidak wajar dan itu ku artikan sebagai tanda ketidak sukaannya terhadap tingkah Aldi yang keganjenan.
“Loh-loh, kenape non? Tenggorokan gatel keselek duren?”. Tanggap Aldi mendengar deheman Mia.
“Kamu sakit juga Mia?”. Tanya bu Rossy dengan nada yang sumpah mati bisa ku nyatakan sebagai ke sok imutannya. Dasar guru yang satu ini memang senang mencari perhatian ditengah siswa ganteng, apalagi macam kak Elang dan Aldi, nambah deh tingkahnya yang kegenitan alias ke-gan-je-nan!!
“Oh..nggak kok bu. Aku sama sekali nggak sakit. Seperti kata Aldi aku lagi keselek kulit duren!!”. Jawab Mia ketus.
Aku yakin Mia sudah gondok sekali mendengar dan melihat tingkah guru kami yang satu ini, dan perlu diacatat, bu Rossy-adalah-salah satu-musuh terselubung Mia-selain Aldi.
“Aku yakin bu guru sudah akan pergi”. Kini kak Elang mengerling ke arah bu Rossy dengan ekspresi serius yang sulit ku jelaskan.
“Oh ya, tentu saja”. Bu Rossy terlihat salah ingkah menanggapi sindiran kak Elang. “Kalau begitu selamat ngobrol ya. Nani semoga cepat sembuh! Ibu pergi dulu, daaaggg!!”. Bu Rossy melengang pergi dengan langkah tetap dipertahankan seanggun mungkin.
“Aku mau pulang”. Sekarang aku yang buka suara.
“Aku yang anter”. Kak Elang sedikit lebih mendekat pada ku.
“Nggak makasih Kak, aku bawa motor”. Sahut ku pelan.
“Nanti dijalan kamu__”.
“Jangan khawatir aku bisa jaga diri”. Potong ku membuat seolah ada dinding yang tak kasat mata berada di antara aku dan kak Elang, sekarang kak Elang kembali bersandar pada tembok didekat Aldi.
“Aku yang akan ikut bersama Nani, kak Elang jangan khawatir”. Ucap Mia lembut sambil menggenggam tangan ku. Aku kadang merasa Mia selalu tahu jika hati ku sedang diliputi rasa gundah.
“Baiklah, kalau gitu aku pergi dulu”. Kak Elang bebalik melangkah kearah pintu. ”Aldi ayo!”. Ajak kak Elang pada Aldi sambil melambaikan tangan.
“Aku juga ikut?”. Tanya Aldi heran, tapi terdengar lebih ke nada kecewa.
“Udah kamu ikut aja Al”. Kata Mia lembut.
Aku hampir tidak percaya itu keluar dari mulut Mia. Bukan karena pengusiran Mia, tapi nada bicaranya lebih ke seorang teman. Tidak, kurasa bukan hanya sekedar teman karena nadanya begitu lembut dan matanya yang menatap Aldi dengan penuh arti itu bisa ku artikan sebagai tatapan perdamaian. Apakah terjadi hal yang tidak aku ketahui selama aku tidak berada ditengah mereka. Sepertinya mereka telah mengadakan perjanjian perdamaian yang tidak akan merugikan kubu manapun. Syukur deh kalau bisa begitu aku juga bisa tenang sekarang karena tidak perlu lagi sakit kepala memikirkan cara menenangkan Mia setiap kali bertengkar dengan Aldi.
“Baiklah kalau gitu, aku juga pulang ya Na. Moga kamu cepet sehat dan akan lebih baik jika kamu nggak memikirkan masalah yang tadi karena aku dan kak Elang sudah tahu pelakunya, jadi kamu nggak perlu khawatir. Semua pasti beres, okey!!”. Aldi mengacungkan jempolnya sambil mengedipkan mata, tapi kali ini bukan kedipan genit seperti tadi karena ini lebih seperti kedipan untuk menyemangati dan meyakinkan ku bahwa tidak ada yang perlu di khawatirkan.
“Sudahlah ayo!!”. Seru kak Elang terdengar tidak sabar.
“Oke, oke!”.
Mereka melengang pergi setelah sebelumnya menutup pintu ruang UKS.
“Na..”. Panggil Mia sambil terus menggenggam tangan ku. “Aku tahu ada sesuatu yang nggak beres. Aku nggak akan memaksa kamu untuk cerita jika itu bisa ngebuat kamu ngerasa tenang. Kamu harus tahu, Aku dan teman-teman yang lain nggak akan meninggalkan kamu dalam keadaan apapun. Semua akan mendukung mu. Kamu nggak perlu khawatir karena kamu nggak sendiri. Percaya deh sama aku!”.
Aku diam, lidah ku kelu, aku benar-benar tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun saat ini. Tatapan ini, aku tahu tatapan Mia yang penuh arti ini, yang penuh ketenangan untuk menentramkan hati ku yang sedang gundah. Tatapan dan genggaman tangannya selalu mampu membuat semangat ku bangkit. Mia selalu tahu suasana hati ku, walaupun aku tidak menceritakan masalah ku, Mia tidak pernah memaksa ingin tahu karena Mia lebih mementingkan kenyamanan ku berada di sisinya daripada harus memusingkan ku dengan pertanyaan penasaran seperti orang kebanyakan.
Mia sahabat ku yang paling baik dan aku sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti dia. Sahabat yang selalu ada disaat aku butuh, kapan pun aku mau. “Makasih banyak Mia, you are the best for me!”. Aku menangis sambil mencium tangan Mia dan sesaat kemudian kami menangis berdua sambil berpelukan.
“Udah ah, nggak usah cengeng”. Kami berdua melepaskan pelukan. “Sekarang aku anter kamu pulang agar kamu bisa segera istirahat dan menenangkan diri”.
“Tapi kan masih ada jam pelajaran”. Kata ku menyanggah.
“Alaaahh bisa diatur”. Mia menggosok hidungnya tanda kalau kenakalan semasa SD dulu mulai kambuh.
“Hmmm...dasar!!”. Aku mengacak rambutnya hingga semrawutan.
“Ayo cepet, entar keburu banyak orang yang lihat”. Mia segera beranjak dari duduknya didekat ku lalu dengan cepat mengambil tas ku yang tergantung di belakang pintu dan segera membantu ku turun dari tempat tidur.
“Mia pelan-pelan dong”. Dengan tergesa-gesa aku memasang sepatu ku menggunakan satu tangan karena tangan yang satunya ditarik oleh Mia.
“Kalau mau behasil harus menggunakan kesempatan sebaik mungkin. Hmmm dimana motor mu?”. Tanya Mia berbisik.
“Ya ditempat parkir dong”.
“Oke deh, kalau gitu ayo cepet!”.
“Oke bos!!”.
Kami segera mengendap-endap menuju parkiran dibelakang sekolah. Usaha kenakalan kami ternyata tidak begitu sulit. Entah kenapa situasi sekolah yang sepi mendukung kami untuk melakukan pelanggaran. Apa yang akan terjadi pada ku besok? Jangan-jangan predikat murid teladan dicabut dari kepala ku. Tapi untuk apa predikat itu lagi? Toh semua teman-teman sekarang memandang ku dengan sebelah mata dan karena takut tertular penyakit ku. Dasar orang-orang bodoh! Mau aja dikibulin, Mana ada penyakit kanker yang menular? Penyakit kudis baru bisa. Batin ku kesal.
Kami  terus mengendap-endap seperti kawanan pencuri yang takut ketahuan tuan rumah. Bahkan saat kami melewati gerbang sekolah pak Tarno menghilang entah kemana. Sungguh ini seperti sudah di skenariokan. Pelanggaran yang kami lakukan berjalan mulus. Sekarang motor sudah melaju dengan santai dijalan raya tanpa hambatan. Kami tidak sadar kalau ada sedikit masalah yang menanti kami didepan jalan sana.
“Kita bebaaaasss!!”. Mia berseru senang saat kami sudah agak jauh dari gerbang sekolah. Saking senangnya Mia tidak konsentrasi mengemudikan sepeda motor dan menyebabkan laju motor tidak seimbang.
“Miaaa..aku belum mau mati!!”. Seru ku ditelinganya.
“Tenang ajaaa. Hahahaha....!!”.
Prrriiiit...prrriiitt!!!!
Waduh gawat ada polisi! Spontan Mia nge-rem mendadak tepat didepan Polisi yang meniup pluit sambil mengangkat tangan untuk meminta kami berhenti, bahkan mungkin bisa dikatakan Mia hampir menabraknya.
“Selamat pagi mbak!”. Pak polisi mengucapkan salam pada kami sambil mengambil sikap hormat.
“Se, selamat pagi pak”. Mia juga memberi hormat.
Aku menyodok pinggang Mia memberi tanda kalau kita sekarang dalam masalah besar.
“Bukannya ini masih jam sekolah?”. Tanya pak polisi mulai mengintrogasi kami.
“Eh anu pak, hmmm__”.
Gawat Mia nggak bisa membuat alasan yang tepat, ini terlalu mendadak. Aku harus segera mencari alasan yang tepat. Tapi apa ya? Batin ku cemas.
Aku cepat-cepat memutar otak mencari alasan yang tepat agar terbebas dari jeratan pelanggaran pak kumis, eh salah pak polisi yang berkumis! Ah iya! CT SCAN, aku akan mengunakan alasan itu. Akhirnya setelah bersusah payah memikirkan jalan keluar, terpaksa aku menggunakan jurus pemungkas yang terakhir.
“Aduh pak maafkan kami karena kami harus buru-buru”. Aku dengan cepat merubah mimik wajah ku seperti orang kepayahan yang sedang sakit parah. Tapi kalau dipikir-pikir aku memang sedang sakit parah sih.
“Kemana?”. Tanya pak polisi berkumis masih dengan ekspresi wajah tegang, sepertinya dia tidak mudah ditipu.
“Kami mau ke Rumah Sakit”.
Mia melongok dengan wajah lemotnya kearah ku.
“Siapa yang sakit?”.
“Saya pak, saya sedang sakit parah. Saya sakit kanker otak pak. Kalau bapak nggak percaya silahkan lihat hasil pemeriksaan CT SCAN saya”. Aku mengeluarkan hasil CT SCAN yang kebetulan aku bawa dari rumah untuk diserahkan pada dokter Irfan hari ini.
“Mana sini coba saya lihat”. Pak polisi berkumis mengambil hasil CT SCAN ku lalu berusaha membacanya dan aku yakin sebenarnya dia tidak mengerti dengan hasilnya. Ini sungguh membuat ku geli, apalagi melihat ekspresi Mia yang lucu penuh keheranan. Aku kembali menyodok pinggang Mia agar dia segera mengubah ekspresi wajahnya mengikuti alur sandiwara ku.
“Eh, iya pak. Maaf, kami harus buru-buru”. Mia mulai ikut memelas meminta maaf, sepertinya dia sudah mengerti dengan alur sandiwara yang ku buat.
“Hmmm..baiklah klau begitu. Kali ini kalian saya loloskan, tapi lain kali jika bertemu dengan saya sekali lagi, jangan harap ada ampun! Mengerti!!”.
“Siap pak!”. Serempak kami berdua memberi hormat.
“Ya sudah cepat sana pergi!”. Pak polisi berkumis lalu menyerahkan kembali hasil pemeriksaan CT SCAN ku.
“Makasih pak!”. Aku segera mengambilnya dan sekali lagi memberi hormat yang dibalas pak polisi berkumis dengan senyum.
“Fyuuuhh..hampir aja kena”. Aku menghembuskan nafas lega setelah beberapa meter jauhnya dari pak polisi berkumis tadi.
“Kamu gila Na!”. Seru Mia sambil sedikit memiringkan kepalanya agar aku bisa mendengar kata-katanya.
“Gila apanya?”. Sahut ku tepat didekat telinganya.
“Gila, kenapa kamu pake’ alasan sakit kanker mu sama polisi tadi?”.
“Loh, emangnya kenapa?”. Aku mengernyitkan alis.
“Bukannya kamu nggak mau penyakit mu di tahu sama orang-orang?”.
“Ah..sekarang semua nggak terlalu penting. Lagian tadi kita bener-bener butuh alasan tepat biar nggak berakhir di kantor polisi. Kasian kan motor ku baru dipake’, masak aku tega biarin motor ku nginep di kantor polisi. Polisi tadi juga nggak mengenal kita kan?”.
“Iya, ya, ya terserah dirimu lah”.
“Yeeee..nggak pake’ ngambek dong”.
“Iya nggak kok”.
Mia menghentikan motor didepan penjual bakso langganan kami. Letaknya tidak jauh dari komplek perumahan kami, tepatnya didekat taman depan komplek.
“Eh, kenapa berhenti disini?”. Tanya ku heran.
“Laper!”. Kata Mia memegang perutnya sambil berjalan masuk ke dalam tenda milik mas Paimo-nama penjual bakso-mau tidak mau aku akhirnya mengikuti Mia dari belakang, kebetulan juga aku sudah lapar.
“Mas pesen bakso urat dua ya!!”. Seru Mia pada mas Paimo yang sedang asyik membersihkan meja yang baru saja ditinggalkan oleh pelanggan lain.
“Oke mbak!”. Balas mas Paimo mengacungkan jempolnya.
“Eh, kenapa kita nggak makan dirumah ku aja? Kan rumah ku nggak jauh lagi”. Aku mengambil tempat duduk didepan Mia lalu meletakkan helm dibawah kursi.
“Apa kamu mau di introgasi lagi sama bunda?”.
Aku menggelengkan kepala.
“Nggak kan? Jadi nurut aja deh, entar kalau kita pulang urusannya bisa tambah repot. Kamu kayak nggak tahu bunda mu aja”.
Iya juga sih, kata-kata Mia bener juga. Aku nggak mungkin pulang dalam keadaan seperti ini, apalagi dijam sekolah. Kalau ini sih bukan aku banget dan dengan sekali menatap ku bunda akan tahu aku mengalami masalah. Bunda pasti akan tanya itu dan ini. Lebih baik aku nggak pulang dulu sampai jam sekolah berakhir.
“Nah loh ngelamun lagi!!”.
Mia membuat ku tersentak dari pikiran tentang bunda.
“Nih makan! Entar baksonya dingin loh”. Mia menyodorkan ku semangkuk bakso yang aromanya langsung membuat cacing-cacing dalam perut ku heboh mengantri makanan.
“Makasih!”. Aku segera menambil sendok dan garpu lalu makan dengan lahap.
“Makasih melulu”.
“Terus aku mesti bilang apa dong?”.
“Udah biasa aja kenapa?”.
“Iya, iya non”.
“Hahahahaha..”. kami tertawa berbarengan sehingga membuat seluruh pengunjung tenda mas Paimo melihat kearah kami berdua. Kebiasaan!!
Suasana seperti inilah yang sulit kurelakan untuk ku tinggalkan. Semua kenangan ku bersama Mia sahabat terbaik ku. Aku akan tetap berusaha dalam keadaan seterpuruk apapun, tidak akan mundur walaupun hanya selangkah! Dan aku harus berjuang untuk tetap membuat bunda tersenyum menatap ku. Aku tidak ingin melihat sosok yang sangat ku sayangi dan sangat ku cintai itu menangis lagi. Sudah cukup penderitaannya setelah kepergian ayah. Aku akan berusaha membuat bunda tetap tersenyum dalam detik-detik terakhir ku. Dan jika saat aku memejamkan mata untuk selamanya sudah datang, bunda akan tetap tersenyum bangga untuk ku.

Hari ini aku kembali kesekolah dengan hati yang cukup tidak karuan. Walaupun aku berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif dalam otak ku, tapi pikiran itu selalu muncul kembali.
“Heeehh..”.
 Aku menghela nafas panjang. Nafas ku terasa berat, kentara sekali ada beban yang menghimpit didalam hati. Aku berdiri disamping motor menunggu Mia. Kami sudah janji untuk berangkat ke sekolah tiap hari. Tapi sepertinya Mia agak terlambat.
“Mia belum dateng sayang?”. Tanya bunda dari ambang pintu.
“Iya bunda, mungkin sebentar lagi”. Jawab ku sambil melihat jam.
“Assalammuallaikum!!”. Mia muncul didepan pintu gerbang dengan senyum sumringahnya.
“Kamu telat!!”. Seru ku pada Mia sambil melotot.
“Iya deh maaf”. Mia mengatupkan tangan didepan dadanya.
“Ya udah cepet!”. Aku kembali ke teras menyalami bunda di ikuti Mia dari belakang.
“Kami berangkat bunda”.
“Hai-hati”.
Mia kembali mengemudikan sepeda motor ku. Katanya agar aku tidak terlalu lelah, hemat tenaga. Mia memang ada-ada saja. Dia termasuk pengemudi sepeda motor yang suka ngebut dijalanan loh! Lihat saja perjalanan menuju sekolah yang seharusnya dua puluh menit disulapnya menjadi sepuluh menit. Fiyuh..untung kami tidak bertemu lagi dengan pak polisi berkumis. Setelah memarkirkan sepeda motor, kami berjalan dengan santai ke dalam gedung sekolah menuju kelas kami.
Kami berjalan di koridor sambil bercanda-canda riang. Tapi aku merasa ada yang lain disini. Aku menatap dengan ragu ke sekelling koridor tempat siswa-siswi biasa bercengkrama selain di kantin. Aku merasakan hawa yang kurang nyaman, tatapan mereka begitu tidak bersahabat menatap ku. Tatapan itu terlalu tajam hingga membuat dinding pemisah diantara kami. Koridor ini sekarang begitu asing untuk ku. Aku merasa seperti bukan siswi sekolah ini. Sebenarnya ada apa? Apa karena kejadian yang kemarin?
“Hey Nani!!”. Seorang siswa memanggil ku dengan kasar.
Aku menoleh kepadanya dengan tatapan penuh pertanyaan.
“Ternyata kamu berani kembali ke sekolah ini. Apa kamu tidak malu?”.
“Maksud mu?”. Tanya ku heran.
“Kamu bisa membahayakan kami semua”. Yang lain mulai ikut ambil suara.
“Apa maksud mu dengan membahayakan?”. Mia mulai terpancing emosi, wajahnya sudah mulai memerah.
“Kamu juga sama aja, jangan-jangan kamu juga ikut terular penyakitnya?”.
“Kalian ini ngomong apa sih?”.
“Yang jelas mereka ngomong masalah kebenaran. Iya kan Nani Amelia Putri?”. Wulan muncul dari tengah siswa-siswi yang mulai membuat lingkaran pembatas sejauh dua meter dari arah kami.
“Apa maksud mu dengan kebenaran Wulan Mahendra?”. Tanya Mia tidak kalah sengitnya pada Wulan.
“Tentu saja tentang penyakit yang dibawa best friend mu itu! Apa kamu belum tahu? Atau kamu pura-pura nggak tahu?”.
Jeda
“Ah iya tentu aja kamu berusaha menyembunyikannya dari kami karena kamu tahu itu sangatlah buruk dan memalukan!!”.
“Sudah cukup Wulan!! Nggak bisakah kamu memberikan kami ketenangan sedikit? Kamu bener-bener licik!”. Mia memicingkan matanya benci.
“Hey! Kenapa kamu ngatain Wulan licik? Kalian tuh yang licik karena menyembunyikan kebusukan Nani pada kami. Padahal itu sangat membahayakan kami!”. Sahut salah satu kerumunan yang ku kenal bernama Edo Pratama. Anak pengusaha terkenal se Jawa Barat.
Wulan berjalan mendekati kami tetap dengan gaya berjalannya yang khas, berjalan anggun dengan kepala tegak menantang. “Kalian udah dengerkan? Disini nggak ada tempat untuk kalian! Pergi!!!”.
Wulan hampir menyentuh telinga ku saat mengatakannya. Aku benar-benar terkesiap mendengar kata-kata Wulan. Sudah sedemikian bencinyakah pada ku? Sebenarnya apa salah ku? Aku benar-benar masih belum mengerti sepenuhnya dengan dendam yang dipendam Wulan selama ini untuk ku. Aku merasa, aku tidak pernah melakukan hal buruk padanya. Bagaimana bisa aku akan terpikir untuk melakukan hal-hal seperti itu. Aku terlalu sibuk belajar bersama Mia untuk mempertahankan beasiswa di sekolah elite ini. Kami bukanlah keluarga kaya seperti mereka yang tinggal minta ini itu. Kami hanya dua orang yang beruntung karena terpilih untuk mendapatkan beasiswa di sekolah ini, dan itupun melalui seleksi ketat dari pihak sekolah.
“Sudahlah Mia..kita kembali ke kelas aja”. Kata ku pelan pada Mia.
“Tapi Na__”.
“Udah nggak usah diladenin”. Aku berbisik disamping Mia.
Dengan berani aku balas menatap mata Wulan yang tajam. “Makasih untuk peringatannya Wulan, kami akan mengingatnya”.
Aku menarik lengan Mia mengajaknya beranjak dari tempat itu.
“Apa itu sebuah pemberontakan?”. Wulan berkata dengan nada sinis saat kami berpapasan melewatinya.
Aku tidak perduli lagi dengan apa yang dikatakan Wulan. Aku benar-benar lelah, sungat lelah. Beban ini terasa bertumpuk di pundak ku. Sepertinya aku ingin segera dapat istirahat agar aku tidak perlu lagi mendengar ejekkan dari orang lain. Apa salahnya mempunyai penyakit seperti ini? Toh bukan aku yang menginginkannya.
Kami duduk dikursi sambil menghela nafas panjang. Mia menghempaskan diri duduk disebelah ku sambil mendengus kesal.
“Dasar nenek sihir!! Ku kira dia tuan putri baik hati dan tidak sombong, tapi ternyata dia seperti sengaja memperkeruh suasana”.
Aku hanya terdiam menanggapi kekesalan Mia pada Wulan.
“Eh Na, aku curiga, jangan-jangan dia pelaku pengumuman di mading kemarin?”. Sekarang Mia duduk menghadap ke arah ku.
“Ah, jangan seuzon gitu sama orang”. Tanggap ku berkilah sambil mengibaskan tangan.
“Ya siapa tahu, soalnya kelihatan banget tadi dia melihat mu dengan tatapan dendam dan amarah yang luar biasa”. Ternyata Mia pun bisa mencium aroma permusuhan yang dihembuskan Wulan pada ku.
Aku menelengkan kepala menatap Mia disamping ku. “Darimana kamu dapet kesimpulan konyol kayak gitu?”.
“Ya ampun Na, dengan sekali tatap matanya juga siapa yang nggak tahu coba’?”. Mia kembali memutar tubuhnya ke arah depan sambil memandang lurus ke withboard yang tergantung di dinding.
“Udah biar aja kenapa sih?”.
“Kamu kok tenang-tenang aja? Kamu tuh sekarang bukan dalam posisi yang menguntungkan Nani!! Bisa aja gara-gara ini kamu di keluarkan dari sekolah”.
“Maksud kamu?”. Aku sedikit terkejut mendengar kesimpulan Mia.
“Apa kamu nggak kepkiran? Bagaimana kalau seluruh siswa di sekolah ini ngadu pada orang tua mereka kalau sebenernya kamu mempunyai-yeach penyakit-dan orang tua mereka tentu sayang dengan anak-anaknya. Pokoknya gitu deh! Dan tentu kamu tahu orang tua mereka, apalagi keluarga Mahendra”. Mia agak merendah kan suaranya saat menyebutkan keluarga Mahendra.
 Ah iya tentu aja bisa. Kenapa aku nggak kepikiran sampai ke situ? Bagaimana kalau aku bener-bener di keluarin dari sekolah ini? Apa tanggapan bunda? Ya Allah haruskah ketidak adilan ini ku telan bulat-bulat?
“Kamu baru kepikirankan?”. Nani menelengkan kepalanya ke arah ku sambil menyangga pipinya dengan tangan.
“Iya, terus aku mesti gimana dong?”.
“Mmmm..gimana kalau kita minta bantuan kak Elang? Dia pasti mau membantu kita!”. Mia menjentikan jari lalu segera merogoh sakunya mengambil ponsel.
“Jangan!!”. Aku segera merebut ponsel dari tangan Mia.
Mia agak terkejut. “Kamu apa-apaan sih?”.
“Biar aku yang menyelesaikannya sendiri”.
“Tapi Na__”.
“Jangan khawatir!”. Kata ku tegas meyakinkan Mia.
Mia terlihat pias menatap ku. Aku tahu dari tatapan matanya, Mia sekarang sangat mengkhawatirkan ku.
Jam istirahat pertama.
Aku berjalan menyusuri koridor kelas dilantai satu menuju perpustakaan. Aku rasa hanya tempat itu yang akan membuat ku tenang dalam suasana hati seperti saat ini. Aku terus berjalan lurus sambil tetap memandang kedepan, aku sama sekali tidak memperdulikan teman-teman yang menatap ku dengan tatapan jijik atau sejenisnya. Masa bodohlah dengan mereka, aku pasrah pada ketetapan Allah, toh aku memang tidak benar-benar menyebarkan virus yang mematikan di sekolah ini. Aku menhempaskan diri duduk di sudut ruangan agar tidak terlalu menjadi pusat perhatian. Ku buka buku bahasa sastra yang ku ambil dari rak buku yang paling dekat dengan pintu masuk.
“Halo!”. Seseorang mengejutkan ku dari belakang. Aku menoleh kebelakang untuk mencari tahu siapa orang yang memanggil ku. Aku tersentak memandang wajah dibelakang ku.
“Mana Mia?”. Tanya kak Elang tanpa memperdulikan keterkejutan ku.
“Eh, mmmm di kelas atau paling nggak dia ke kantin”. Jawab ku segera dan bersiap untuk beranjak dari situ.
“Tunggu!!”. Kak Elang meraih tangan ku.
“Apa-apaan sih kak?”. Aku beusaha melepaskan tangan ku dari genggaman tangannya tapi sepertinya tenaga kak Elang terlalu kuat untuk ku.
“Apa ada yang tidak beres?”.
Jeda
“Jawab aku”. Lanjutnya tegas dengan pandangan tajam menunggu jawaban ku.
Aku tertunduk, lidah ku kelu tidak bisa menjawab pertanyaannya.
“Nani..”. Panggilnya lembut. Sekarang gengamannya mulai longgar.
Ku dongakkan kepala ku menatap matanya yang hitam bagaikan batu kecubung. Hati ku sakit saat mendapati tatapannya yang penuh dengan keibaan, dan aku tidak mau itu ada pada pandangannya.
“Kak, aku__”. Kata-kata ku terputus saat kusadari ada seseorang yang memperhatikan kami sejak tadi.
“Aku rasa perpustakaan dimanfaatkan untuk belajar bukan untuk berduaan. Iya kan kak Elang?”. Wulan tiba-tiba muncul ditengah-tengah kami. Sontak aku melepaskan tangan ku dari genggaman tangan kak Elang yang sudah mengendor.
“Kenapa? Teruskan aja, nggak apa-apa kok. Aku akan sangat rela menonton pertunjukkan yang romantis ini”. Wulan bertepuk tangan dan ini membuat semua pengunjung perpustakaan melihat ke arah kami bertiga.
“Apa-apaan kamu?”. Tanya kak Elang tajam pada Wulan.
“Bermain-main”. Jawab Wulan santai sambil berjalan ke samping kak Elang dan mulai merangkul tangannya. “Ke kantin yuuukk”.
“Aku lagi nggak naf__”.
“Kak Elang nggak inget pesen nenek?”. Potong Wulan dan terlihat jelas kalau kak Elang gelagapan mendengar pertanyaan Wulan.
“Iya, ya, ayo!”.
Mereka berdua melengang pergi sambil Wulan terus bergelayutan manja pada lengan kak Elang. Terlihat kak Elang tidak begitu nyaman dengan sikap Wulan yang berlebihan. Tapi aku merasa lega setelah kepergian mereka. Ya Allah sampai kapan aku akan terus menghindar darinya?
“Nani Amelia Putri?”.
Seseorang kembali mengejutkan ku. Ternyata yang memanggil ku ibu Maya penjaga perpustakaan.
“Iya bu”.
“Kepala sekolah memanggil mu”.
“Memanggil saya? Ada apa bu?”.
“Maaf saya tidak tahu, lebih baik kamu segera menghadap”.
“Baik bu, terimaksih”. Aku segera beranjak dari sana setelah sebelumnya mengembalikan buku bahasa sastra ke tempatnya semula.
Aku tegang, iya tentu saja aku tegang. Bahkan aku tidak pernah merasa setegang ini. Ada kemungkinan beasiswa yang selama ini mati-matian aku pertahankan akan segera dicabut, persis seperti dugaan Mia tadi pagi. Sampai didepan ruangan kepala sekolah, aku berusaha menenangkan diri sejenak sebelum mengetuk pintu.
Tok, tok, tok!!
“Permisi pak!”.
“Silahkan masuk!”. Terdengar suara berat berwibawa menjawab dari dalam.
Ku buka pintu dengan hati-hati sambil membaca bissmillah.
“Siang pak! Bapak memanggil saya?”.
“Oh Nani! Silahkan, silahkan duduk”. Pak Sugeng kepala sekolah kami mempersilahkan ku duduk sambil tersenyum ramah kepada ku. Sepertinya tidak ada tanda-tanda pencabutan beasiswa sekolah. Yeach aku harap beigitu.
“Bagaimana kabar mu?”.
“Baik pak, terimakasih”.
“Hmmm..kamu tahu kenapa bapak memanggil mu?”. Pak Sugeng bertanya sambil mengelus jenggotnya yang lumayan panjang.
“Tidak pak”. Jawab ku menggelengkan kepala.
“Begini Nani, aku mewakili pihak sekolah ingin meminta maaf atas semua kejadian ini. Sngguh disesalkan kejadian ini bisa terjadi, apalagi kamu tidak bersalah dalam masalah ini. Tapi kami pihak sekolah tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka semua terlalu kuat, apalagi orang tua mereka rata-rata punya saham di sekolah ini, dan kamu tentu tahu beasiswa mu berasal darimana”.
“Tapi pak, maaf, saya kurang faham maksud bapak”. Kata ku tidak mengerti.
“Hmmm..begini Nani. Tentu kamu tahu, kami tidak mungkin tidak tahu masalah pengumuman di mading sekolah. Dan seperti penjelasan bapak tadi, kami benar-benar minta maaf karena kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi mu. Bapak harap kamu bisa memahami situasi dan posisi kami dalam masalah ini karena terlalu banyak yang dipertaruhkan disini. Kamu adalah siswa yang cerdas dan bapak yakin kamu bisa memahaminya”.
Aku menghela nafas panjang. Sekarang aku mengerti maksud pembicaraan kepala sekolah yang berperawakan tambun ini. Dan aku sudah menduga sekolah tidak akan berani mengusik para siswanya. Sekali saja itu terjadi, maka habislah masa kejayaan sekolah ini. Jadi kalau satu orang bisa dikorbankan untuk kebaikan semua, kenapa tidak? Toh yang dikorbankan hanya orang macam aku. Sebenarnya terkadang aku merasa ini benar-benar tidak adil untuk ku, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Biarlah semua berjalan sesuai rencanaNya.
“Begini Nani, kami hanya bisa mengupayakan untuk mengirimkan surat kepada seluruh orang tua siswa agar mereka memaklumi kejadian ini sementara waktu setelah kami bisa mengatasinya dengan baik”.
“Maksud bapak setelah aku meninggal?”. Tanya ku santai seolah-olah itu adalah kejadian yang sangat wajar dan tidak perlu dikhawatirkan.
“Bu..bukan, tentu saja bukan itu maksud ku. Ini hanya tindakan sementara untuk mencegah timbulnya reaksi protes dari wali murid terhadap mu”. Pak Sugeng tidak bisa menutupi sikapnya, dia terlihat gugup seperti siswa yang sedang tertangkap basah membawa VCD porno ke dalam lingkungan sekolah.
“Atau kamu mau bapak mengatakan yang sebenarnya?”.
“Tidak pak, tidak perlu sampai sejauh itu”.
Pak sugeng menghembuskan nafas panjang. Terlihat jelas dia sedang berfikir keras, karena keningnya berkerut lebih sering dari biasanya.
“Terimakasih pak! Saya hargai apapun bentuk pertolongan bapak dan pihak sekolah. Saya memang merasa ini tidak adil, tapi bapak tidak perlu khawatir karena saya akan berusaha meluruskan ini semua”.
“Aku yakin kamu bisa, kamu adalah murid yang cerdas”. Pak Sugeng kini terkekeh sambil manggut-manggut mengelus kumisnya yang sudah mulai memutih. Dia sekarang terlihat agak lega mendengar perkataan ku.
“Kalau begitu saya permisi pak, saya mau kembali ke kelas dulu”.
“Ah iya, semoga beruntung!”.
“Terimkasih, permisi pak”. Aku beranjak dari duduk ku lalu melengang pergi menutup pintu tanpa menunggu jawaban pak Sugeng.
Sekali lagi aku menghembuskan nafas panjang. Aku merasakan sesak yang amat sangat didalam dada ku. Sepertinya oksigen yang masuk tidak sesuai dengan kebutuhan paru-paru ku. Aku seperti terhimpit dengan masalah yang sebenarnya aku tidak fahami. Sepertinya aku memang harus menanyakan ini pada Wulan nanti. Iya harus ku tanyakan agar semuanya jelas!
Aku membuka pintu kelas. Sepi, tidak ada siswa satupun didalamnya. Kemana semuanya? Bukankah sekarang sudah sepuluh menit berlalu sejak bel tanda masuk pelajaran ke empat berbunyi. Aku berjalan masuk, tapi belum beberapa langkah aku dikejutkan oleh lemparan penghapus yang tepat mengenai punggung ku. Aku segera menoleh kebelakang, tidak ada siapa-siapa. Ku teruskan langkah ku menuju meja tempat duduk ku bersama Mia. Aku terkesiap, kemana meja dan kursi ku? Aku menyapu pandangan ke sekeliling kelas, tapi tetap tidak ku temukan kursi dan meja ku.
“Kenapa? Bingung mencari milik mu?”.
Aku berbalik mencari tahu siapa yang berbicara. Sudah ku duga, Wulan!
“Apa maksud semua ini?”.
“Apa peringatan ku yang kemarin belum cukup?”. Wulan berjalan ke depan kelas dengan anggun bak putri raja sambil bersedekap.
“Aku masih nggak ngerti dengan sikap mu yang kekanak-kanakkan”.
“Skap ku yang kekanak-kanakkan?? Bukan kah sikap mu yang seperti anak kecil kehilangan mainannya? Kau sebut aku kekanak-kanakkan? Heh lucu!!”.
“Katakan sejujurnya ada apa? Kenapa kamu membenci ku sedalam ini dan apa salah ku pada mu? Mungkin kita bisa saling terbuka dan membicarakannya baik-baik”.
 “Jangan pura-pura!”. Wulan tersenyum tipis dengan tatapan tajam kepada ku.
“Kamu selalu menyebut ku pura-pura, pura-pura untuk apa?”.
“Aaah udah deh, aku bener-bener muak melihat mu yang sok amnesia seperti sekarang ini!!”. Kini Wulan duduk menyilangkan kaki dimeja guru.
“Tapi aku bener__”.
“Cukup! Jangan lagi mengatakan ketidak mengertian mu. Kamu terlihat tolol!!”.
Aku benar-benar tidak habis pikir. Apa sih maksud Wulan?.
“Kak Elang tidak ada, jangan sekali-kali berfikir untuk meminta bantuannya. Kak Elang terlalu banyak urusan, nggak hanya ngurusin kamu yang nggak guna!!”.
Wulan berdiri dan bersiap untuk pergi, tapi langkahnya terhenti didepan pintu.
“Oh iya, karena aku baik hati, aku akan memberi tahu mu kalau kelas kita pindah ke ruang musik dan masalah kursi mu, yeach cari aja sendiri!”. Setelah mengatakan itu Wulan melengang pergi meninggalkan ku dengan sejuta pertanyaan didalam otak ku.
Minggu pagi di taman depan komplek.
Aku duduk dibawah pohon palem sambil menulis isi hati ku dalam memo dilaptop ku. Angin sepoi-sepoi menghampiri mempermainkan rambut ku nakal. Ku lihat anak-anak yang bemain kejar-kejaran di bawah pohon tidak jauh dari tempat duduk ku. Ada juga keluarga yang tengah asyik bercengkrama sambil menikmati somay atau bakso. Terlihat juga pemuda pemudi yang tengah bercanda-canda, entah dengan teman atau pacar mereka.
Suasana minggu pagi yang cukup membuat hati ku tenang. Sejenak bisa ku lupakan masalah yang sedang aku alami. Sudah hampir satu bulan sejak masalah mading dan ancaman-ancaman Wulan yang sampai sekarang aku benar-benar tidak mengerti sumber masalah yang sebenarnya.
Sungguh ini membuat ku semakin gerah. Apalgi aku harus berusaha memeras otak mencari cara untuk menghindari kak Elang, bagaimana jika kami kebetulan berpapasan di koridor sekolah atau bertemu di kantin. Hati ku sakit, jelas terasa perih yang tidak tertahankan jika aku melakukan apa yang di inginkan Wulan. Semuanya sungguh bertentangan dengan hati kecil ku. Terlebih lagi aku tidak terlalu mengerti dengan duduk persoalannya yang membuat Wulan membenci ku sedemikian dalamnya. Aku merasa Wulan memendam kebencian pada ku sudah sangat lama. Tapi saat aku berusaha menanyakannya pada Wulan, dia pasti hanya mengatakan aku berpura-pura tidak mengingatnya. Tapi aku memang benar-benar tidak tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Sungguh membingungkan. Dan sementara itu aku juga harus mendapatkan kenyataan bahwa aku telah di diskriminasi oleh satu sekolah.
Angin terus berhembus memberikan kesejukan dan kedamaiannya untuk ku. Aku sangat bersyukur karena masih bisa menikmati suasana pagi sampai saat ini, tapi entah sampai kapan.
“Naniiii!!!”.
Aku menoleh menatap orang yang memanggil ku. Terlihat dia berlari mendekat, sepertinya dia berdua dengan seorang cowok.
“Mia, Aldi?! Kalian__”
“Hos-hoss..kami mencarimu tau!”. Seru Aldi sambil berusaha menetralkan nafasnya.
“Ada apa?”. Aku mengerutkan kening bingung, terlebih karena mereka datang berdua mencari ku.
“Udah deh, hentikan pandangan itu Na”. Mia mengibaskan tangannya didepan mata ku, sepertinya dia tahu apa yang sedang ku pikirkan.
“Aku mencari mu ke rumah, tapi bunda bilang kamu lagi main di taman. Ya udah aku segera nyusul kemari, tadi aku ketemu Mia di jalan, jadinya sekalian aja aku ajak dia kemari karena kebetulan Mia juga sedang mencari mu”. Kata Aldi panjang lebar menjelaskan kenapa dia dan Mia sampai datang berdua.
Sekarang mereka duduk disebelah kanan dan kiri ku.
“Oh gitu..”. Aku manggut-manggut.
“Kamu di cari kak Elang”. Aldi mengubah topik pembicaraan.
Aku terkejut dengan pertanyaan Aldi, tapi aku segera menata hati ku kembali. Mendengar nama kak Elang disebut hati ku terasa panas.
“Kenapa diem Na?”. Sekarang Mia yang bertanya.
“Nggak, nggak apa-apa. Aku hanya bisa bilang, kalau aku belum bisa ketemu sama dia”. Aku menundukkan kepala melihat kaki ku.
“Kenapa?”. Tanya Aldi pelan.
“Saat ini aku nggak bisa ngejelasinnya”.
“Tapi kenapa?”. Sekarang badannya agak serong menghadap kearah ku.
Jeda
“Na, senernya ada apa sih?”. Aldi bertanya lagi.
Aku menggelengkan kepala lemah.
“Na..”. Mia menggengggam tangan ku, tapi entah kenapa kali ini genggaman tagannya tidak mampu meluluhkan hati ku.
“Udahlah Mia, Aldi. Jangan tanya-tanya lagi. Aku lagi nggak mau membicarakan masalah ini, apalagi ini menyangkut soal kak Elang. Udahlah kalian nggak perlu memusingkan masalah ku lagi, toh nggak ada untungnya buat kalian”.
“Tapi Na..”.
“Udahlah Mia”. Aku berdiri. “Aku mau pulang dulu dan lebih baik kalian segera pulang”. Aku pergi meninggalkan taman, meninggalkan dua orang yang sekarang berwajah pias.

“Aku pulang!!”. Aku duduk disofa ruang tamu sambil membersihkan rok ku dari debu jalanan yang menempel.
“Oh ya Na, tadi ada Al__”.
“Iya aku udah ketemu kok bunda”.
“Kamu kenapa?”. Bunda melongok dipintu dapur dengan wajah heran.
“Loh, nggak apa-apa bunda, emangnya aku kenapa?”. Aku balik bertanya.
“Entahlah”. Bunda mengedikkan bahu.
Ah bunda selalu saja tahu jika suasana hati ku sedang tidak enak.
“Oh iya, tadi bunda dapet telfon dari kepala sekolah”.
“Apa bunda?”. Aku terlonjak dan langsung menghampiri bunda di dapur.
“Kamu kok kaget?”. Tanya bunda keheranan.
“Ah nggak bunda, biasa aja”. Aku bergelayut dilengan bunda.
“Kamu ini kayak anak kecil aja. Kepala sekolah mu cuma menganjurkan bunda supaya memperhatikan kesehatan mu agar nggak drope lagi”. Bunda mengusap kepala ku sayang.
Fyuh...aku agak lega mendengar penjelasan bunda. Aku sempat mengira kalau kepala sekolah akan memberitahu bunda masalah yang tengah memanas dilingkungan sekolah.
“Kok ngelamun?”.
“Eh, nggak kok bun. Aku mandi dulu ya”. Aku mencium pipi bunda lalu berlari menaiki tangga menuju kamar ku.
“Ow ya Na, tadi tante Imelda nelfon juga. Katanya kamu diminta bantu-bantu di tokonya!!”. Seru bunda sambil menengok ke atas.
“Iya, entar aku kesana. Aku mau mandi dulu!!”. Balas ku berseru dari kamar.
Tante Imelda adalah saudara bunda paling kecil. Tante Imelda punya toko bunga yang lumayan sukses dan mempunyai cabang dimana-mana. Banyak keluarga kaya yang menjadi langganannya. Tante Imelda sayangnya belum menikah karena dulu ada kejadian yang tidak mengenakkan ketika hampir saja tante Imelda akan melangsungkan pernikahan. Calon suaminya tertabrak truk barang saat dalam perjalanan menuju lokasi perrnikahan. Tragis sekali! Waktu itu tante sangat terpukul sampai tante Imelda stres dan konsultasi ke psikater. Tapi untungnya sekarang dia mempunyai kesibukan yang membuat dia hampir lupa dengan kejadian masa lalunya.
Setelah mandi dan mengganti pakaian, aku segera turun kembali menemui bunda yang kini tengah menyiapkan makan siang dimeja makan.
“Loh bunda, Tata mana? Kok dari tadi nggak kelihatan?”. Aku celingak celinguk ke sekeliling ruangan mencari wajah bundar adik ku manja.
“Pergi ke rumah Anisa, katanya Anisa ulang tahun hari ini, jadi mamanya Anisa, tante Arum buat syukuran untuk temen-temen putrinya”. Kata bunda menjelaskan.
“Ow gitu”. Aku manggut-manggut sambil mengambi piring.
“Ow iya, kamu nggak ajak Mia pergi ke toko?”.
“Mmmm..gimana ya?”. Aku bingung ku ajak atau tidak ya, soalnya tadi Mia bersama Aldi. Jangan-jangan kalau ku ajak nanti aku mengganggu lagi.
“Kok gimana? Telfon aja”. Saran bunda sambil menuangkan sambel goreng jagung kesukaan ku ke  piring.
“Iya, ya, entar aku coba telfon deh”. Kata ku mengalah.
Selesai makan aku langsung mengambil kunci sepeda motor yang tergantung diantara kunci-kunci lainnya di dekat TV. Setelah pamitan dengan bunda aku segera berangkat tanpa menelfon Mia lebih dulu. Biarlah aku pergi sendiri. Aku juga tidak mau merepotkan Mia lagi. Aku juga bisa sendiri, aku tidak mau terus menerus bergantung pada orang lain.
Sampai di mall tempat toko bunga tante Imelda aku segera menaiki lift menuju lantai tiga. Dengan sedikit senyum mengembang aku berjalan sambil melihat etalase-etalase toko pakaian dan toko aksesoris lainnya.
Waaahh bagus banget!! Puji ku dalam hati saat melihat kalung berlian bermatakan mutiara imut nan cantik. Hmmm..harganya pasti mahal, bekerja selama sepuluh tahunpun aku tetap tidak akan sangggup membelinya.
Aku cepat-cepat beranjak dari depan toko perhiasan. Aku tidak mau berlama-lama memandangnya, takut terbawa mimpi, hhihihi....
Samapi di toko bunga, aku celingak celinguk mencari tante Imelda. Di depan toko aku bertemu dengan Tyo pemuda yang bekerja sebgai driver tante Imel sekaligus sebagai ordering.
“Met pagi Tyo!!”. Sapa ku riang.
“Met pagi nona cantik!”. Tyo blas menyapa sambil tersenyum.
“Tante mana?”.
“Tuh didalem”. Tyo menunjuk kearah tumpukan bunga mawar pink didalam toko.nAku melihat kearah yang ditunjuk Tyo. “Makasi ya!”.
Tyo mengacungkan jempolnya. “Sama-sama!!”.
“Selamet pagi tante ku yang cuantik!!”. Aku memeluk tante Imelda dari belakang membuatnya sedikit terlonjak kaget.
“Astaga! Kamu bikin tante kaget aja. Kapan dateng?”. Tante mngecup kening ku dengan sayang.
“Barusan”. Aku menaruh tas kecil ku di atas meja kasir.
“Gimana kabar mu? Baik?”. Tanya tante Imel sambil mengusap rambut ku.
“Alhamdulillah..baik!!”. Ucap ku mantap.
“Mama dan adik mu?”.
“Baik juga”.
“Sekolah mu?”.
“Mmmmm..lancar!”.
“Terus__”.
“Ehm!”. Aku berdehem keras memotong pembicaraan tante Imel. “Aku ke sini untuk bantu tante atau ke sini untuk di introgasi?”.
“Ya ampun tante sampai lupa!”. Seru tante Imel riang sambil menepuk dahinya. “Iya udah kalau gitu tante minta tolong bersihin  bunga mawar pink yang ada disebelah sana ya, soalnya pelanggan yang memesan akan mengambilnya pukul tiga sore. Bisakan sayang?”.
“Of course! Don’t worry my sweety aunt”. Aku segera mengerjakan tugas yang diberikan oleh tante Imel sambil bercanda-canda dengan Sonya yang kocak, dia adalah salah satu pegawai tante Imel.
Tidak sampai satu jam pekerjaan ku dan Sonya sudah selesai.
“Makasih Sonya!”. Seru ku sambil tersenyum pada Sonya.
“Nevermind!”. Ucapnya sambil mengumpulkan sampah sisa ranting-ranting bunga mawar yang kami potong tadi.
“Nih, aku udah selesai!”. Aku meletakkan tumpukan bungkusan disamping tante Imel yang tengah asyik dengan bunga Lilinya.
“Wah..cepet banget. Kalau gitu lain kali bisa nih minta bantuan lagi!”.
“Yeach asal bayarannya juga sesuai”.
“Idiiiihh, sama tante sendiri masih pake’ itung-itungan segala”.
 “Lah tante sendiri pake’ nyiksa keponakan yang lagi sekarat”. Kata ku santai sambil merapikan bungkusan bunga mawar yang suah ku bersihkan bersama Sonya.
“Hus! Kamu ngomong apaan sih?”. Tante Imel menyodok pinggang ku pelan.
“Lah, benerkan?”.
“Udah ah, jangan ngomong serem kayak gitu”.
“Yeeee...yang mau mati aku kok tante yang takut sih?”. Seloroh ku santai.
“Nani!!”. Tante Imel berseru sambil memelototi ku.
“Hahahahha...iya,iya ampun bos!”. Kata ku sambil menyatukan tangan diatas kepala setengah membungkuk.
“Dasar kamu!!”. Tante Imel menjitak kepala ku.
“Auw sakit!!”. Aku menggosok-gosok kepala ku bekas jitakan tante Imel sambil meringis kesakitan.
“Tante senang melihat kamu kembali riang”.
Aku mengerling ke arah tante Imel yang sedang merangkai beberapa bunga Lili untuk pelanggannya.
“Kamu terlihat hidup”. Lanjutnya lagi.
Jeda
 “Tante sempat khawatir saat kecelakaan yang menimpa mu empat tahun yang lalu. Kalau anak itu tidak menyumbangkan darahnya pada mu, entah apa yang akan terjadi”. Tante Imelda terlihat murung.
“Tante ngomongin apa sih? Kecelakaan?”. Tanya ku heran.
“Ah nggak, nggak ada apa-apa. Tante Cuma keinget sama__”.
“Oh ya,ya aku ngerti. Nggak usah dilanjutin”.
“Nani”. Panggil tante Imel pelan.
“Iya tante, ada apa?”. Jawab ku tanpa memandang ke arahnya karena aku masih sibuk merapikan bungkusan bunga.
“Bunda mu nggak pernah cerita apa-apa?”.
“Tentang?”. Aku menghentikan pekerjaan ku mendengar nada yang tidak biasa dari tante Imel.
“Ah nggak, lupain aja, kamu terusin aja pekerjaannya. Sebentar lagi pelanggan kita datang mengambil pesenannya”. Tante Imel kembali mengusap kepala ku lalu beranjak pergi ke dalam ruangannya. Sempat ku lihat matanya berkaca-kaca. Ada apa ya? Apa karena tante Imel teringat masa lalunya lagi? Tapi sudah lama dia tidak membicarakannya.
Aku kembali menyibukan diri dengan merapikan bungkusan bunga mawar.
“Selamat pagi!!”. Seorang pelanggan pertama pagi ini tersenyum ramah diambang pintu toko.
Terlihat tante Imel keluar dari ruangannya untuk menymbutnya dengan senyum ramah. Sekarang terlihat mereka berbincang-bincang dengan santai sebelum masuk untuk memilih bunga. Tapi setelah aku perhatikan, sepertinya pelanggan itu bukan hanya pelanggan biasa karena tante Imel terlihat berbeda saat menatapnya, wajahnya seperti kembali terlihat merona dan sedikit tersipu. Atau ini hanya perasaan ku saja.
Perawakannya tegap, rambut sudah terlihat beruban namun terlihat rapi dipotong pendek. Stelan jas hitam sangat cocok dengan tubuhnya yang tegap dan kulitnya yang putih bersih. Senyumnya terlihat tulus dan ramah. Pelanggan itu sekarang tengah berbincang-bincang dengan tante Imel sambil berkeliling melihat bunga. Tante Imel terlihat bersemangat saat berbincang dengan pelanggan pertamanya. Dia bisa tertawa, sudah lama aku tidak melihat tawanya yang lepas seperti sekarang ini. Sepertinya dia sudah menemukan pengganti almarhum om Syahrul. Baguslah...aku turut bahagia.
“Nani!!”. Tante Imel memanggil ku. Dia melambaikan tangannya.
Aku segera mnghentikan pekerjaan ku lalu langsung menghampiri tante Imel yang tengah menanti ku dengan senyum mengembang.
“Kenalin, ini temen tante Na, om Ardiansyah Mahendra”. Katanya mengenalkan pelanggan tadi kepada ku.
Pelanggan yang bernama Ardiansyah Mahendra itu mengulurkan tangannya kepada ku sambil tersenyum ramah. “Panggil saja om Ardi”.
“Nani om!”. Balas ku sambil menyambut tangannya.
“Cantik, tepat seperti yang diceritakan tante mu”. Pujinya tulus.
“Ah om bisa aja”. Aku agak tersipu mendengar pujiannya.
“Oh iya Na, om ini punya putri tunggal, dia satu sekolah sama kamu”. Kata tante Imel sambil sesekali mengerling pada om Ardi.
“Oh iya! Siapa na__”.
Kata-kata ku terputus saat pintu toko terjeblak terbuka dan munculah wajah yang saat ini aku benar-benar tidak ingin lihat.
Wulan terlihat celingak-celinguk mencari seseorang. Dia msuk kedalam toko, lalu bertanya pada Tyo yang sedang memindahkan bunga anggrek jingga didekat pintu toko.
Aku tetap memperhatikan dari jauh, penasaran, ada apa gerangan princes Wulan berada di toko bunga tante Imelda.
Wulan berjalan mendekati kami. Setelah mendapati apa yang dicarinya Wulan tersenyum sumringah.
“Papa!!”. Panggil Wulan sambil melambaikan tangannya ke arah om Ardi.
Ya ampun!! Kenapa aku tidak menduganya. Tentu saja om Ardi adalah ayah Wulan Mahendra. Memangnya apa yang aku pikirkan? Nama Mahendra tentu saja hanya mereka yang memilikinya. Itu sudah menjadi hak paten mereka. Ya ampun Nani, kenapa kamu bodoh banget!
Wulan datang mendekat tanpa memperhatikan kalau aku berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Papa maaf ya, aku tadi ke toko perhiasan dulu”. Kata Wulan manja sambil bergelayutan dilengan om Ardi. Sepertinya ini sudah menjadi kebiasaan bagi Wulan.
“Nggak apa-apa. Oh iya, kenalkan ini tante Imelda yang punya toko bunga tempat kita sering memesan bunga kesukaan mu”.
“Senang bertemu kamu Wulan!”. Tante Imel mengulurkan tangan pada Wulan.
Sejenak aku berfikir Wulan tidak akan mau menjabat tangan tante Imel.
“Wulan tante! Papa sering cerita tentang tante”. Seru Wulan tanpa ku sangka, bahkan dia menjabat tangan tante Imel.
“Wah..masak? semoga aja bukan yang jelek-jelek. Hahahaha!!”. Tante Imel tertawa lepas. “Oh iya, kenalkan keponakan tante, namanya...loh kemana anak itu?”. Tante Imel bingung mencari ku yang sekarang sedang melihat mereka dari dalam pentry.
Aku tidak mau mengacaukan semuanya. Bisa-bisa keadaan akan bertambah rumit jika aku memunculkan wajah ku didepan Wulan. Wulan bisa saja langsung meminta papanya memutuskan hubungan dengan tante Imel dan aku tidak rela kalau harus melihat kesedihan mewarnai tante Imel lagi. Dia sudah cukup menderita selama bertahun-tahun karena kepergian om Syahrul. Sekarang sudah saatnya tante Imel merasakan kebahagiaan itu lagi dan aku tidak ingin menjadi pengacau kali ini. Tapi sampai kapan aku akan terus menyembunyikan semuanya? Cepat atau lambat Wulan akan tahu yang sebenarnya. Aku bisa berusaha menghindar, paling tidak sampai tante bisa meraih kebahagiaannya.
Aku duduk di salah satu kursi pentry sambil mengaduk-ngaduk kopi susu yang dari tadi ku buat dengan maksud untuk mengusir ketegangan dan kebingungan ku. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan segala kebetulan hari ini.
“Nani..”. Tante Imel duduk di depan ku. Jarak kami hanya dipisahkan oleh meja diantara kami.
“Kamu baik-baik aja sayang?”.
Aku mengangguk lemah.
“Apa pekerjaan yang tante berikan membuat kamu kecapean?”.
Aku kembali menggeleng lemah.
“Terus kamu kenapa? Tadi juga kamu kemana, ngapain kamu menghilang coba? Padahal tante mau mengenalkan kamu dengan putri om Ardi loh”.
“Maaf tante, tadi aku tiba-tiba sakit perut”. Kata ku berbohong
“Bener nggak ada apa-apa?”.
Aku menggangguk meyakinkan tante Imel. “Tante..”.
“Iya sayang?”.
“Boleh aku nanyak?”.
“Apa aja”.
“Tante bener-bener sayang ya sama om Ardi?”.
“Apa? Hahaha!! Kenapa kamu tiba-tiba nanyak masalah itu?”.
“Kelihatannya om itu baik dan perhatian sama tante”.
Tante Imel terlihat jelas tersipu saat aku berbicara seperti itu mengenai hubungannya dengan om Ardi. “Well, sepertinya seperti itu”.
“Kok sepertinya?”. Aku mengernyitkan alis tanda heran. “Kapan om Ardi ngelamar tante?”.
“What??!!! Ngelamar?!”. Tante Imel hampir terbangun dari kursi karena terkejut mendengar pertanyaan ku yang mendadak.
“Loh kok reaksinya kayak gitu?”.
“Kamu sih, nanyaknya ekstrim kayak gitu”.
Tante Imel sekarang berdiri mengambil cangkir dan mulai membuat teh cream kesukaannya.
“Sejujurnya tante dan om Ardi sudah kenal sejak masa kuliah dulu. Kami sempet deket waktu itu. Tapi kami lose contak saat dia harus meneruskan kuliah di Harvad University. Tujuh tahun kemudian setelah om Syahrul meninggal, aku mendengarnya menikah di London, Inggris dengan putri seorang pengusaha terkenal dari London. Tentunya putri yang sederajat dengan keluarganya”.
Tante berhenti sejenak, menhembuskan nafas panjang. Sepertinya ada beban berat yang dia pendam. Tante Imel berjalan kembali menuju tempat duduk didepan ku lalu menghempaskan tubuhnya dan bersandar pada sandaran kursi. Aku terus memperhatikannya sambil menyangga dagu diatas meja.
“Setelah itu tante nggak pernah lagi mendengar kabarnya lagi. Lagi pula disaat itu juga tante sedang benar-benar kehilangan arah. Syukurlah tante punya orang-orang seperti mama dan papa mu yang selalu memperhatikan dan mensuport tante. Akhirnya tante bisa kembali bersemangat seperti sekarang ini. Semua berjalan sesuai kehendak Yang Kuasa, setelah 17 tahun berlalu tante bertemu lagi sama om Ardi diacara pernikahan temen tante. Begitulah..entah kenapa kami deket lagi sampai saat ini”.
Tante Imel menghirup teh creamnya lalu mengerling kearah ku dengan mata agak berkaca-kaca, sepertinya tante Imel berusaha tidak menangis didepan ku.
Aku meraih tangan tante Imel dan menggenggamnya dengan erat untuk menguatkan tante Imel. “Tante tentu sangat menyayangi om Ardi”.
Tante Imel tersenyum mengiyakan.
“Aku akan mendukung apapun yang ngebuat tante bahagia, apapun itu!!”.
Tante Imel mendekat sambil merentangkan tangan untuk memeluk ku.
“Makasih sayang!!”. Tante Imel memeluk ku dengan sayang.
“Iya tante”. Aku balas memeluknya dengan air mata bahagia. Aku benar-bena berharap kali ini dia menemukan kebahagiaannya.
Semoga Wulan tidak akan pernah tahu kalau sebenarnya tante Imel adalah tante dari orang yang sngat dia benci.

Pukul lima sore aku pulang dari toko diantar tante Imel. Selama perjalanan kami terus berbincang-bincang sambil bercanda-canda riang. Terlihat wajahnya terus memancarkan rona kebahagiaan yang tidak pernah terlukis selama ini diwajahnya.
Tiba dirumah aku langsung masuk dan mencari bunda ditempat favoritnya, kitchen! Tante Imel mengikuti ku dari belakang sambil membawa buah dan bahan masakan karena kami berencana ingin membuat daging bakar di halaman belakang.
“Bunda!”. Aku memeluk bunda dari belakang.
“Eh..kamu udah pulang”.
“Bunda lagi apa?”. Tanya ku sambil melongokkan kepala dari belakang bahu bunda.
“Lagi bikinin adik mu bolu cocolate”. Jawab bunda sambil terus mengaduk adonan yang kini sudah tercampur dengn coklat.
“Owh..”. Aku manggut-manggut. “Oh iya, tante Imel ikut bun”.
“Kak..kamu lagi bikin apa?”. Tiba-tiba tante Imel sudah berada ditengah kami tanpa aku sadari.
“Eh..kamu Mel, ini lagi bikinin keponakan mu yang nakal bolu cocolate”.
“Ternyata dia masih doyan makan cocolate ya”.
“Mangkanya dia tambah tambun!”. Kata ku sambil tertawa.
“Hus! Jangan bilang kayak gitu, entar adik mu denger loh. Dia bisa ngambek!”. Bunda memperingatkan ku sambil mengerling ke arah Tata yang tengah asik main game.
Tante Imel ikut-ikutan mengerling kearah Tata. Lalu berjalan mendekat dan mulai mengajaknya bercanda.
“Kelihatannya tante mu lagi bersemangat”.
“Yeach..emang lagi bersemangat”. Aku tersenyum memandang kearah tante Imelda yang sedang bercanda dengan Tata.
“Kamu tahu sesuatu?”. Tanya bunda tetap berkonsentrasi dengan bolu cocolatenya.
Aku mngmbil gelas dan mengisinya dengan air putih. “Hmmm..tapi bunda tanya aja sendiri”. Setelah minum aku meninggalkan bunda dengan pandangan penasaran, namun bunda tersenyum saat memandang ku menjauh naik ke kamar ku.
Sesampai di kamar aku langsung berendam air hangat, menenangkan syaraf-syaraf yang sempat tegang. Merilekskan pikiran ku dari hal-hal yang negatif.
Walaupun berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif tentang Wulan, tapi pikiran-pikiran itu seakan tidak mau beranjak dari benak ku. Hipotesa yang terburuk tentang apa yang akan terjadi selanjutnya membuatku semakin tidak bisa menghilangkan keitidak tenangan ku karena kenyataan yang ku ketahui hari ini.
Aku berharap semoga Wulan tidak akan mengacaukan semuanya. Semoga Wulan tidak melakukan tindakkan bodoh yang bisa menghancurkan semuanya, alih-alih membuat semuanya menjadi lebih baik, mungkin Wulan malah akan membumi hanguskan kami dengan sekali jentikan jari.
“Kak Nani!!”. Tata memanggil ku dari luar kamar mandi.
“Iya sayang!”. Jawab ku sambil mengeringkan tubuh dengan handuk.
“Disuruh kebawah sama bunda”. Sahutnya sambil menggedor pintu.
Aku segera membuka pintu kamar mandi untuk menghentikan kelakuan Tata. “Iya-iya, sekarang kak Nani turun. Tata duluan aja”.
Tata mengangguk lalu segera berlari keluar sambil menutup pintu.
Setelah selesai memakai pakaian, aku turun menemui bunda dan tante Imel yang terlihat tengah berbicara serius di ruang makan. Apa yang mereka bicarakan ya? Sepertinya terlihat serius.
Aku berjalan mendekati ruang makan dengan hati-hati agar keduanya tidak menyadari kehadiran ku, aku berdiri dibalik tembok yang terdekat dengan mereka. Aku penasaran pada apa yang mereka bicarakan karena sepertinya mereka tengah bicara serius sambil berbisik-bisik dan wajah bunda pun terlihat tegang.
“Apa yang kamu bicarakan Imel? Aku tidak akan pernah berani melakukannya, apalagi Nani sekarang dalam keadaan kondisi yang tidak memungkinkan”. Bunda terlihat gusar menanggapi kata-kata tante Imel yang entah apa itu.
Bunda menyebut nama ku, tentunya apa yang mereka bicarakan menyangkut tentang diriku. Aku semakin tertarik untuk mendengarkan pembicaraan yang langka ini.
“Oh god my sister!! Comeone, don’t be afraid”. Sekarang tante Imel tengah berusaha meyakinkan bunda tentang sesuatu yang harus dia lakukan.
Bunda kembali terlihat tegang. “Tapi Mel, aku__”.
“Bukannya kakak udah janji pada dokter Irfan untuk memberitahu Nani mengenai masalah ini?”.
“Aku nggak sangggup Mel, aku berjanji sebelum Nani mengidap kanker”. Gumam bunda pelan.
“Kapan kakak akan menjelaskannya? Semakin lama Nani nggak tahu yang sebenarnya, akan semakin sakit buat dia”.
“Tapi gimana dengan kesehatannya?”.
“Kalau tidak sekarang, kapan? Menunggu sampai__”.
“Nggak! Nggak akan terjadi hal yang buruk pada Nani. Aku yakin!”.
Aku tidak pernah melihat ekspresi bunda yang sedemikian takut seperti saat ini. Aku semakin penasaran, sebenarnya apa yang membuat mereka berbicara sedemikian rumit dan menegangkan urat syaraf.
“Kakak ku tersayang, aku mengerti perasaan mu yang tengah menghadapi situasi ini”. Tante Imel terlihat menggenggam tangan bunda. “ Tapi aku pikir Nani sudah dewasa untuk mengetahui semuanya. Apa kakak ingin Nani hidup selamanya dalam kehilangan memory masa lalunya?”.
Bunda menarik tangannya dari genggaman tangan tante Imel. “Dia tahu masa lalunya seperti apa”.  
“Dan itu sebagian besar adalah skenario bundanya sendiri”. Kata tante Imel muram.
Skenario masa lalu? Apa maksud tante Imel? Aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan mereka.
Tiba-tiba Tata datang menghampiri ku dari samping kanan, dia baru saja keluar dari kamarnya yang terletak disamping mushala dan kamar bunda. Aku segera mengisyaratkannya untuk diam dengan meletakkan telunjuk pada mulut ku.
“Kak Nani sedang ngapain berdiri disini?”. Tanya Tata berbisik.
“Jangan ribut”. Sahut ku berbisik dan segera memberikannya isyarat untuk menghindar dari ruang makan.
“Iya-iya”. Tata segera berjalan dengan cara berjingkat untuk menghindar dari tempat itu.
Fyuh..syukurlah Tata segera menurut, jadinya aku tidak perlu susah-susah. Aku kembali merapatkan badan ditembok dan berusaha berkonsentrsi mendengarkan percakapan bunda dan tante Imel.
“Cukup sudah sandiwaranya kak”. Tante Imel menhembuskan nafas panjang. “Nani harus tahu kebenarannya. Nani harus tahu tentang kecelakaan yang membuatnya hilang ingatan dan tentang keluarga Mahendra”.
Mahendra? Apa hubungannya semua ini dengan Mahendra?
“Tapi bagaimana kalau__”. Bunda mulai terisak.
“Apa kakak mau menanggung penyesalan setelah semuanya terlambat?”.
Bunda memandang nanar tante Imel.
Tante Imel sesekali menengok ke belakang, takut kalau-kalau aku tiba-tiba muncul memergoki mereka.
“Dengar kak. Katakan sekarang atau tidak sama sekali dan aku jamin kakak akan menyesal seumur hidup jika terus menyimpan semuanya”.
“Tapi aku__”. Kata-kata bunda kembali terputus oleh isakan dan keraguannya.
“Jangan ragu!”. Tante Imel kembali meyakinkan bunda.
Aku semakin penasaran sekaligus bingung. Sebenarnya apa yang mereka bicrakan? Rasa ingin tahu ku semakin membuncah mendorong ku untuk masuk dan bergabung dalam pembicaraan mereka. Sekarang atau tidak selamanya. Gumam ku dalam hati, persis seperti kata-kata tante Imel untuk meyakinkan bunda. Dan itupun berlaku untuk meyakinkan ku mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dengan masa lalu ku.
Dengan membulatkan tekad, aku berjalan mantap kedalam ruang makan mengejutkan bunda dan tante Imel.
“Nani!!”. Seru bunda dan tante Imel bersamaan. Mereka langsung berdiri.
“Apa hubungan ku dengn kecelakaan, hilang ingatan dan keluarga mahendra?”.
“Nani, ini nggak seperti yang kamu pikirkan”. Kata bunda sambil menghapus air matanya.
Aku mengangkat tangan mengisyaratkan bunda untuk tidak menjelaskan apa-apa. Sekarang aku menatap tante Imel dengan penuh harap. Aku yakin tante Imel akan menjelaskan semuanya.
Tante Imel terlihat melunak. Dia mengulurkan tangan meraih tangan ku dan mengisyaratkan ku duduk didekatnya. “Duduk Na, tante akan menjelaskannya”.
“Imel!”. Seru bunda dengan agak keras.
“Jangan ngebuat aku menjadi orang tolol lagi bunda. Ku mohon...”.
“Tapi Na..”.
“Bunda please...”.
“Baiklah”. Kata bunda menglah. “Sebaiknya tante mu yang menjelaskannya”. Bunda terduduk pasrah dengan ekspresi wajah yang tidak bisa ku jelaskan.
“Kami, tante dan bunda mu bersal dari keluarga yang sederhana. Dulu tante dan bunda mu adalah dua saudara perempuan yang sangat dekat satu sama lain”. Kata tante Imel memulai ceritanya.
“Dari pakaian, aksesoris dan barang-barang lainnya harus sama persis. Bahkan kriteria cowok yang kami idamkan sama. Tapi Allah adil karena mendatangkan dua orang Mahendra pada kami. Ardiansyah Mahendra dan Lucky Mahendra, ayah mu”.
Aku tersentak kaget. “Ayah ku?”.
“Iya, ayah mu. Tepatnya ayah kandung mu”.
Aku menatap tante Imel tidak percaya. Aku melihat bunda menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Bunda terlihat sangat kacau.
“Jadi..”.
“Jadi, Erlangga Syaputra adalah ayah tiri mu”. Sambung tante Imel. “Sayang, tante akan melanjutkan ceritanya, boleh?”.
Aku hanya mengangguk lemah.
“Baiklah. Kami dua pasangan yang sangat romantis. Bunda mu dan Lucky ayah mu, ante dan om Ardiansyah. Kami terkenal dikalangan kampus. Empat mahasiswa cerdas bergabung, siapa yang tidak akan memandang kagum. Tapi nggak sedikit juga yang memandang kami dengan sebelah mata, terutama kalangan bangsawan alias mereka yang sederajat dengan dua Mahendra. Dan diantara yang nggak sedikit itu ada seorang Caroline, putri seorang pengusaha terkenal dari London, Inggris yang tidak menukai kebersamaan kami. Maka, dia mengadukan semuanya pada keluarga besar Mahendra tentang kedekatan kami”.
Tante Imel berhenti bercerita sebentar untuk menghirup nafas dalam.
“Siapa Caroline?”. Tanya ku tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu.
“Tunangan salah satu Mahendra”.
“Om Ardiansyah?”.
“Yup! Tepat banget”. Seru tante Imel menjentikan jarinya. “Setelah pengaduan itu, tante dan bunda mu terancam dikeluarkan dari kampus. Tentunya kamu tahu bagaimana keluarga Mahendra menyingkirkan orang-orang yang mereka nggak sukai”.
Aku menggangguk mantap. Kesedihan ku sekarang berganti dengan rasa penasaran yang amat sangat. Tapi aku baru menemukan satu titik terang. Bahwa aku adalah salah satu Mahendra. Yang aku masih tidak mengerti, jika aku adalah salah satu Mahendra, kenapa aku tidak mengingatnya sama sekali? Kenapa aku dan bunda tinggal jauh dari mereka dan kenapa bunda menikah dengan papa Erlangga? Sepertinya masih banyak yang harus ku ketahui.
“Mungkin masih banyak yang kamu nggak ngerti, tante faham itu. Tapi tante yakin setelah kamu tahu semuanya, kamu akan mengerti”. Sekali lagi tante Imel menghirup nafas dalam.
“Lalu?”. Tanya ku penasaran.
“Lalu kami berpisah, tepatnya tante dan om Ardiansyah. Sedangkan bunda mu nekat kawin lari bersama ayah mu Lucky. Semua gempar dengan keputusan bunda mu yang sangat nekat. Sementara bunda dan ayah mu Lucky bersembunyi setelah mereka menikah, keluarga kami diburu oleh keluarga Mahendra. Semua usaha kakek hancur, rumah disita dan kami terpaksa mengontrak rumah yang sangat jauh dari sederhana. Keadaan perekenomian keluarga menjadi semakin buruk sehingga membuat kakek sakit-sakitan, apalgi nenek sudah tidak ada ditengah-tengah kita”.
Isakan tangis bunda semakin keras terdengar.
“Lima tahun kemudian, bunda mu baru memberikan kami kabar bahwa sekarang dia tinggal di kota dan telah melahirkan anak kembar, laki-laki dan perempuan. Tapi sepertinya dia terlambat karena kakek sudah meninggal dunia dua tahun semenjak kepindahan kami. Ibu mu sempat stres karena sangat menyesal. Tidak lama kemudian, keluarga Mahendra mengetahui keberadaan keluarga kalian. Tak tanggung-tanggung mereka meminta agar ayah mu Lucky segera pulang dengan dalih kakek kalian tuan besar Mahendra dalam keadaan sakit keras. Mau tidak mau akhirnya ayah mu pulang untuk sementara waktu sampai tuan besar Mahendra pulih dari sakitnya. Akan tetapi seminggu kemudian tuan besar Mahendra meninggal dunia yang secara otomatis menuntut ayah mu untuk tinggal lebih lama di kediaman.
Bunda mu sesungguhnya sangat khawatir karena sudah dua bulan ayah mu tidak kunjung pulang sesuai janjinya. Bunda mu terus mencari informasi tentang keadaan didalam kediaman Mahendra. Tapi sepertinya nasib masih tidak berpihak padanya, tidak lama kemudian bunda mu mendapat kabar bahwa ayah mu dinikahkan dengan putri seorang konglomerat dari Malaysia. Sungguh malang, bunda mu sempat sdepresi selama berbulan-bulan. Aku sebagai adik sangat prihatin dengan kakak ku yang sangat aku sayangi. Akhirnya tante memutuskan untuk ikut tinggal dikota bersama kalian. Dan disinilah tante bertemu dengan om Syahrul. Kami berdua terus mensuport bunda mu unuk tetap bertahan menahan badai topan yan terus melanda hidupnya, dia tidak boleh terpuruk demi kalian berdua.
Setahun kemudian bunda mu berhasil terlepas dari keterpurukkannya. Dia mulai mencari kesibukan dengan bekerja disebuah perusahaan swasta. Gajinya lumayan, cukup untuk menghidupi kalian berdua. Bunda mu bertambah senang karena kalian tumbuh menjadi putra putri yang sangat pintar dan berbakti pada orang tua. Tapi untuk yang kesekian kalinya bunda mu hampir  kehilangan seoang yang disayanginya. Entah karena alasan apa, keluarga Mahendra memutuskan mengambil kalian berdua untuk tinggal dan disekolahkan bersama anak-anak Mahendra yang lain. Tentu saja bunda mu menentang keinginan keluarga Mahendra. Dia terus berusaha mempertahankan kalian. Awalnya keluarga Mahendra mengalah, tapi karena kejadian itu, semua kembali terulang”.
“Kejadian apa?”. Tanya ku dengan suara serak menahan tangis.
“Setelah kejadian itu, seminggu kemudian aku dan om Syahrul memutuskan untuk menikah. Semua telah dipersiapkan dengan matang, hampir sempurna. Akhirnya hari yang dinantipun datang juga. Aku dan bunda mu naik mobil bersama seorang supir pribadi om Syahrul, sedangkan kamu dan om Syahrul naik mobil dibelakang kami dengan saudara kembar mu sebagai pengemudinya. Entah apa yang terjadi selanjutnya, tiba-iba kecelakaan itu sudah terjadi. Kalian bertiga langsung dilarikan ke Rumah Sakit terdekat untuk segera mendapakan pertolongan. Malangnya om Syahrul nggak tertolong, kamu luka parah dengan benturan hebat dikepala dan sempat koma beberapa hari, sedangkan saudara kembar mu hanya menderita luka ringan karena dia terlempar keluar saat kecelakaan itu terjadi.
Beberapa hari kemudian, kamu sadarkan diri dari koma. Akan tetapi kamu hilang ingatan, amnesia. Semua kejadian masa lalu termasuk kejadian saat kecelakaan, benar-benar terhapus dari memory mu. Termasuk mempunyai saudara kembar yang sekarang berada ditengah-tengah keluarga Mahendra. Dokter menyarankan agar kejadian masa lalu mu untuk sementara waktu tidak perlu diungkit-ungkit sampai keadaan mu benar-benar pulih tanpa cacat. Bunda mu sangat menyetujui saran dokter, karena bunda mu nggak akan sanggup jika harus menjelaskan semuanya termasuk menjelaskan kenapa saudara kembar mu sekarang tinggal bersama keluarga Mahendra. Kamu pasti akan terpukul jika tahu kamu nggak akan bisa ketemu lagi dengan saudara yang sanat kamu sayangi. Kalian begitu dekat, sangat dekat. Kemanapun kalian pergi selalu berdua.
Kami nggak tahu keputusan kami benar atau nggak karena kami udah sepakat untuk tidak mengungkit masa lalu didepan mu walaupun kamu udah sembuh total. Kami sebenarnya sempat ingin menjelaskan semuanya, akan tetapi kamu keburu difonis kanker otak stadium lanjut oleh dokter. Akhirnya kami urung kembali menjelaskannya pada mu, biarlah semua hanya menjadi masa lalu”.
Tante Imel berhenti bercerita. Dia kembali menghembuskan nafas panjang dan berat, namun aku mencium aroma kelegaan dari hembusan nafasnya. Ku lihat bunda masih tetap menundukkan kepala dengan linangan air mata. Bunda ku tercinta, ternyata dia lebih dari sekedar menderia didunia ini dan ditambah lagi dengan ku yang penyakitan. Oh bunda ku, maafkan aku.
Hati ku sakit, benar-benar sakit setelah mengetahui ternyata kehidupan masa lalu ku sepahit itu. Aku tidak pernah menyangkanya, sungguh tidak terpikirkan dibenak ku. Segalanya seperti sebuah cerita fiksi yang mengharukan, tapi aku sadar kenyataan ini harus ku telan bulat-bulat. Bukan hanya ini yang harus ku pikirkan, aku tidak boleh terpuruk demi bunda, aku tidak boleh menangis lagi.
“Tapi tante, tadi tante bilang aku punya saudara kembar. Nggak mungkin Tata kan tante?”.
“Tentu saja bukan sayang”. Tante Imel tersenyum lalu mengusap pipi ku. “Elang, Elang Mahendra sepupu Wulan Mahendra, itulah saudara kembar mu”.
Kata-kata tante Imel seperti petir disiang bolong bagi ku. Elang? Mana mungkin? Jadi selama ini perasaan ku padanya adalah perasaan seorang adik terhadap kakaknya, bukan perasaan yang dirasakan antara cewek dan cowok. Bahkan kami adalah saudara kembar, tentunya ikatan batin diantara kami juga sangat erat. Pantas saja aku merasa begitu dekat dengannya. Perhatiannya yang tulus ternyata bukan tanpa alasan. Dia masih melindungi ku sebagai seorang kakak, walaupun aku tidak ingat semuanya, tapi aku sangat bahagia mendengar kalau Elang adalah saudara ku. Ternyata aku adalah salah satu dari mereka, sayangnya keberadaan ku tidak diterima ditengah-tengah mereka. Tapi kenapa Wulan begitu membenci ku? Apa dia tidak tahu kalau aku adalah sepupunya?
“Hmmm..tante”.
“Iya”.
“Kalau memang aku saudara kembar Elang, kenapa Elang nggak mau menjelaskannya pada ku?”.
“Oh Nani ku sayang...Elang sangat menyayangi mu, tentunya dia tahu apa yang terbaik untuk mu yang harus dia lakukan setelah mengetahui keadaan mu”.
Aku mengangguk tanda mengerti. Kak Elang...sekarang panggilan itu sangat berarti untuk ku walaupun aku belum bisa mengingat semuanya. Aku sangat bahagia.
“Sayang..”. Panggil bunda dalam keadaan masih tenggelam dengan kesedihan yang mendalam.
Aku mengerling kearah bunda.
“Kamu jangan pernah membenci bunda ya”. Kata bunda lirih tanpa mampu memandang mata ku.
Aku berjalan mendekati bunda lalu memeluknya dari belakang dan mencium pipinya. “Oh bunda...aku sangat mencintai dan menyangi bunda, lalu bagaimana mungkin aku dapat membenci bunda”.
“Terimakasih sayang!”.Bunda balas mencium pipi ku.
“Benar apa dugaan ku, Nani pasti bisa menyikapi semua ini dengan bijak. Dia adalah keponakan ku yang paling cerdas!”. Tante Imel mengedipkan matanya kepada kami.
Bunda tersenyum, sekarang raut wajahnya sudah tidak sepucat tadi. “Terimakasih Mel, aku benar-benar lega sudah menjelaskan semuanya”.
Aku duduk disamping bunda. “Bunda tenang aja ya, aku akan selalu ngebuat bunda tersenyum!”. Sekali lagi ku cium pipi bunda.
“Tapi tante, cerita yang ku dengar dari Aldi sangat berbeda dengan kenyataan yang tante ceritain”. Aku kembali duduk didekat bunda.
Tante Imel mengernyitkan alisnya. “Aldi? Maksud mu Aldi Mahendra?”.
Aku mengangguk mantap.
“Tante kan udah bilang ke kamu, nggak ada yang boleh ngomong apa yang seharusnya mereka kunci dalam brankas mereka masing-masing, karena itu bisa mempersulit keluarga mereka didepan tuan besar Mahendra. Dan perlu kamu tahu, tuan besar Mahendra nggak pandang bulu untuk memusnahkan apa yang beliau nggak suka. Ya ibaratnya seperti menyemprotkan obat hama pada tanaman”.
Aku melongo mendengar penjelasan tante Imel. Setega itukah kakek ku sampai tega menghancurkan anaknya sendiri? Sungguh aku tidak menyangka ternyata aku mempunyai kakek sperti itu. Aku mengedikkan bahu belum sepenuhnya mengerti.
“Kamu tenang aja sayang”. Bunda mengusap kepala ku. “Semua akan baik-baik aja, kamu nggak perlu ketemu dengan tuan besar Mahendra. Karena tentunya kamu tahu kita nggak mau menjadi tamu nggak diundang”.
“Aku masih belum ngerti, kenapa kak Elang?”. Kata ku lirih.
“Maksud mu kenapa hanya dia?”. Tanya bunda.
Aku kembali menganggukkan kepala.
“Keturunan yang lain sebelum ayah Aldi menikah hanya mempunyai keturunan perempuan, jadi mau nggak mau kakek mu meminta Elang diambil. Kamu juga tentu ahu bunda nggak akan tinggal diam, tapi bunda nggak cukup kuat kalau harus mempertaruhkan kebahagiaan mu juga”.
Aku mulai mengerti titik terang dalam masalah yang sekarang aku hadapi. Tapi kalau boleh jujur aku cukup syok mendengar semua kenyataan ini. Ternyata ayah kandung ku masih hidup. Aku mempunyai seorang saudara kembar yang ternyata sangat dekat dengan ku. Tapi apakah ayah kandung ku masih ingat dengan ku? Akan kah dia mau menerima ku sebagai putrinya?
Aku termenung dalam diam ku. Walaupun saat ini aku bahagia mendengar kenyataan bahwa Elang adalah saudara kembar ku, tapi ada setitik sakit yang menusuk jauh didalam hati ku karena mengetahui kenyataan bahwa ayah kandung ku ternyata menghkianati bunda dan memilih wanita lain sebagai penggantinya.
Sejahat itukah ayah kandung ku? Apakah dia tega bahagia diatas penderitaan bunda yang berjuang sendirian sekian tahun untuk membesarkan putrinya seorang diri? Apakah jika aku bertemu nanti dia akan memanggil ku sayang seperti bunda yang selalu menyenandungkan kata-kata indah untuk menenangkan ku? Maukah dia menerima aku yang dalam kondisi mengidap penyakit yang mematikan?
Aku tidur dalam posisi terlentang memandang langit-langit kamar ku dengan air mata berlinang. Sungguh kenyataan ini belum sepenuhnya bisa ku terima. Apalgi sekarang aku tengah dalam tekanan Wulan yang sangat membenci keberadaan ku didekat kak Elang. Aku masih sangsi apakah aku bisa bertahan menjauh dari kak Elang, saudara kembar ku. Tapi apa Wulan tahu kalau aku adalah saudara kembar kak Elang? Kalau memang dia tahu, kenapa Wulan tega meminta ku menjauh dari saudara ku sendiri? Aku rasa Wulan memang sangat mencintai Elang. Ah kenapa aku tidak menjodohkan mereka saja, tentunya Wulan sangat senang kalau dijodohkan dengan kak Elang dan aku tentunya nggak perlu menjauh dari kak Elang. Kenapa aku tidak berpikir seperti itu. Baiklah besok aku akan mencoba bicara dengan Wulan.
Akhirnya aku bisa mendapatkan jalan keluar dari permasalahan ini. Lebih baik sekarang aku tidur dan cepat-cepat menyusun rencana untuk bicara dengan Wulan. Mudah-mudahan saja dia mau bicara dengan ku.
Jam menunjukkan pukul 22.30 saat aku terlelap menuju pulau mimpi. Terbang menuju indahnya harapan tentang hari esok menyongsong senyuman manis yang ku harapkan.

Aku melangkah mantap memasuki ruang kelas ku. Sepi, padahal sekarang sudah pukul 07.15 pagi. Biasanya siswa siswi sudah berkumpul dikelas paling tidak untuk sekedar ngerumpi dengan yang lain. Aku menghempaskan diri duduk sambil menghela nafas panjang mengeluarkn segala unek-unek yang memberatkan hati.
Aku melongokkan kepala keluar jendela melihat danau yang tenang disebelah utara sekolah. Udara yang sejuk menyapa wajah ku, aku memejamkan mata menghirup udara untuk mengisi paru-paru ku dengan udara bersih. Ku syukuri nikmat Allah karena aku masih bisa menghirup udara sampai hari ini. Walaupun sampai hari ini permasalahan demi permasalahan datang bertubi-tubi menimpa ku. Aku tetap besyukur padaNya. Aku tidak ingin mengeluh lagi. Semua atas kuasaNya, aku tidak punya kuasa atas segala takdir ku.
Ku lihat sepasang burung nuri tengah asyik bermain-main diatas pohon cemara. Mereka berputar-putar saling kejar satu sama lain, bernyanyi-nyanyi riang sambil mengepakkan sayapnya bebas. Terbang dari dahan yang satu kedahan yang lain. Sepertinya mereka tidak mempunyai beban dalam pundak mereka. Sungguh menyenangkan andaikan bisa menjadi burung-burng kecil tanpa beban penderitaan.
“Good morning princes!”.
Aku tersentak mendengar seseorang yang menyapa ku. Aku menoleh ke arah pintu tempat sosok seorang cewek berdiri menyilangkan tangan sambil besandar pada pintu. Senyumnya sinis, sangat ku kenal. Rambutnya panjang tergerai dihiasi bando pita berwarna abu membuatnya terlihat semakin manis. Manis dan dingin, itu tepatnya.
Aku menatapnya tanpa berkedip. Sekarang Wulan berjalan mendekat.
“Kenapa princes Nani menatap ku dengan pandangan seperti itu?”.
Aku mengedipkan mata tiga kali.
Wulan kembali tersenyum sinis lalu menyipitkan matanya dengan ekspresi tidak sukanya yang sangat khas.
“Hentikan tatapan mu itu dan bicaralah, jangan diam karena aku muak melihat tampang yang nggak berdosa”.
“Mmmm...aku..”.
“Oh Nani...jangan gagu!”.
“Aku nggak gagu”. Balas ku tegas. Aku sudah bena-benar ingin menyudahi semuanya.
Aku menarik nafas dalam. “Wulan, kalau kamu mau aku bisa bantu kamu jadian dengan kak Elang, gimana?”.
Sesaat Wulan terkejut mendengar pertanyaan ku, namun dia segera mengubah ekspresi wajahnya kembali sedingin es.
“Kau bercanda?”.
Aku bersandar pada jendela sambil melipat tangan. “Aku nggak bercanda”.
Wulan duduk diatas meja dengan menyilangkan kedua kakinya yang jenjang. “Jangan main-main dengan ku”.
“Oh comeone, kamu tahu aku nggak main-main”.
“Aku nggak butuh belas kasihan dari cewek menjijikkan seperti kamu!!”.
Aku tidak heran Wulan mengatakan kata-kata yang menyakitkan seperti itu. Aku sudah menduganya dan aku sudah siap menerimanya.
“Wulan...kamu tahu aku nggak mungkin menjauh dari saudara ku sendiri”.
Pandangan Wulan kini semakin tajam. “Kamu udah bosen berpura-pura?”.
“Bukan, bukan kayak gitu. Aku emang tahu yang sebenernya kemaren”.
“Bohong!!”.
“Aku nggak bohong”. Seru ku hmpir menahan nafas. “Kenapa sih kamu meminta ku menjauh dari saudara ku sendiri? Itu kan nggak akan merugikan mu. Malahan aku mau bantu kamu”.
“Apa? Membantu ku??”. Wulan kembali tersenyum sinis. “Tanpa kamu bantu pun aku  udah tunangan dengan Elang”.
Aku terkesiap mendengar kata-kata Wulan. Bertunangan? Benarkah kak Elang sudah bertunangan dengan Wulan? Tapi tante Imel tidak menjelaskan apa-apa tentang pertunangan ini. Apa Wulan Cuma mengada-ada?
“Kenapa? Kamu kira aku bohong? Nih buktinya!”. Wulan memperlihatkan cincin emas putih bermatakan berlian mungil dijari manisnya.
“Tapi..”. Aku masih belum mengerti.
“Tapi kenapa aku bersi keras menjauhkan mu dari Elang?”.
Aku menatapnya dengan pandangan tidak mengerti.
“Tentu aja biar Elang nggak terkena hama yang nggak di inginkan”.
“Maksud mu?”. Tanya ku masih tidak mengerti.
“Sudahlah, kamu nggak akan mengerti. Percuma kamu jadi murid cerdas”.
Wulan turun dari meja, lalu berjalan menuju pintu kelas meninggalkan ku dengan kepala yang dijejali seribu perrtanyaan.
“Oh ya”. Wulan menghentikan langkahnya didepan pintu. “Cucu direktur Mahendra akan datang sekarang, semua sedang berkumpul didalam aula sekolah untuk menyambutnya”. Setelah mengatakkan itu Wulan menghilang dibalik pintu.
Cucu utama Keluarga Mahendra? Maksudnya siapa lagi ini? Bukankah kak Elang adalah cucu utama keluarga Mahendra? Aduh..aku semakin tidak mengerti. Terlebih lagi dengan kata-kata Wulan yang menganggap aku adalah hama yang berbahaya untuk Elang. Akankah ini adalah muslihat tuan besar Mahendra? Aku menggelengkan kepala tidak mengerti. Aku berjalan menuju aula dengan perasaan campur baur antara heran, terkejut bercampur tidak percaya. Tapi aku sudah bertekat tidak akan menyerah begitu saja. Selesai acara ini, aku akan kembali bicara dengan Wulan.
Tiba di aula aku celingak celinguk mencari teman sekelas ku. Terlihat Mia melambaikan tangannya kepada ku dari tengah aula tempat kelas II IPA I duduk. Aku berjalan kearahnya dan duduk didekat Mia dan Aldi. Aku menoleh kearah mereka berdua.
“Kenapa?”. Tanya Mia mengerutkan keningnya.
“Entahlah”. Balas ku sambil mengedikkan bahu.
“jangan bilang kalau kamu..”.
“Siapa bilang? Nggak kok, ya cuman aneh aja”. Aku memelankan suara pada kata aneh.
“Aneh? Maksud mu?”. Mia menunjukkan jari kearah dirinya dan Aldi bergantian.
Aldi melihat kami dengan tatapan aneh. Aku menganggukkan kepala pada mereka berdua. Sedangkan Mia memberengut kesal kepada ku sambil mencubit lengan ku gemas.
“Kalian kenapa sih?”. Tanya Aldi heran.
“Nggak kenapa-napa”. Jawab  Mia segera.
“Nah terus?”.
“Kami cuma__”.
Kata-kata Mia terputus oleh suara bel tanda bahwa acara akan segera dimulai. Kami langsung diam, seluruh pandangan tertuju pada panggung yang telah disediakan. Disebelah kiri panggung duduk para guru, disebelah kanan duduk para pemegang saham dan ditengah podium duduk kepala sekolah dan seharusnya bersama tuan besar Mahendra, akan tetapi sepertinya beliau tidak hadir. Dan digantikan oleh cucu utamanya. Ini ya cucu utama keluarga Mahendra? Hmmm..tampan dan manis, itulah kesan pertama ku padanya. Tapi sepertinya dia agak pemalu, buktinya dia hanya menunduk. Apa dia sombong seperti Wulan ya?
“Selamat pagi siswa-siswi Internasional High School!”. Terlihat protocol acara sudah mulai membuka acara ini dari sudut panggung.
“Hari ini kita kedatangan tamu agung cucu utama dari kelurga besar Mahendra yaitu Nicky Syaputra Mahendra”.
Terlihat cucu utama Mahendra yang bernama Nicky Syaputra Mahendra berdiri sambil membungkukan badan kepada kami semua. Kenapa aku sepertinya pernah melihat sosoknya yang jangkung itu ya? Sosoknya tidak asing dimata ku. Tapi dimana aku melihatny? Entah kebetulan atau idak, warna mata ku sama denannya. Coklat terang dengan aksen timur tengah. Kulitnya putih bersih tanpa cacat. Rambutnya hitam lurus dengan gaya ala boy band korea. Sungguh sempurna dimata manusia.
“Dua nama keluarga besar dibelakang namanya”. Kata protocol melanjutkan. “Sungguh luar biasa, dengan segudang prestasi yang patut kalian contoh. Dan dengan segala kerendahan hati, kami menyambut kedatangannya melalui acara penyambutan yang jauh dari sederhana ini. Kami juga berterima kasih karena beliau mau bersekolah disini sekaligus membagi ilmu yang telah di timba dari negeri Adikuasa, Amerika. Baiklah selanjutnya kita persilahkan Kepala sekolah kita yang terhormat untuk memberikan sambutannya”.
Kepala sekolah terlihat melangkah menuju podium lalu beliau mulai menyampaikan sambutannya yang umum dan biasa. Tentu saja dalam hitungan menit beliau berhasil membuat kami semua masuk ke dalam lingkaran kebosanan dan terkantuk-kantuk. Tapi sambutannya tidak lama dan sekarang digantikan dengan sambutan dari cucu utama Mahendra.
Sosoknya yang jangkung dengan rambut ala boy band korea berhasil menghipnotis kami semua. Tidak terkecuali sebagian besar siswi yang hadir masuk dalam khayalan masing-masing. Dia mempunyai aura tersendiri untuk menghipnotis kami dalam diam. Tapi tidak semua dapat terhipnotis, buktinya Aldi, Elang dan Wulan terlihat biasa saat melihat kehadiran Nicky. Bahkan mereka terlihat pura-pura senang berada dalam situasi ini. Mereka kenapa ya? Entahlah..buat apa aku susah-susah memikirkan masalah mereka. Lagipula masalah ku saja belum selesai sampai saat ini.
Seusai acara penyambutan yang berlangsung khidmat, yeach jujur saja itu semua disebabkan karena sebagian siswi terhipnotis tampang keren cucu utama Mahendra. Jadi tidak heran semua gosip dan celotehan mereka tertahan khayalan masing-masing.
Aku berjalan diantara keramaian siswa siswi yang sedang keluar dari pintu aula. Aku menajamkn mata untuk mencari sosok Wulan. Aku ingin bicara sekali lagi dengannya karena aku sudah bertekat tidak akan menyerah semudah itu.
“Nani!!!”. Mia berlari sambil memanggil ku.
Aku menoleh ke belakang, tapi tetap tidak ku hentikan langkah ku.
Mia terus mengejar ku. “Nani tunggu!!!”.
Akhirnya Mia berhasil mengejar ku. Ku lihat nafasnya ngos-ngosan karena lelah mengejar ku diantara ratusan siswa siswi.
“Kamu cari siapa sih?”. Tanya Mia dengan nafas ngos-ngosan.
“Aku masih sibuk celingak celinguk diantara keramaian. “Nggak kok”.
“Hah, nggak kok?”. Mia menyadari ketidak seriusan ku menjawab pertaanyaannya. “Woy!!!”.
Aku terlonjak kaget mendengar teriakannya tepat ditelinga ku.
“Kamu denger nggak sih?”.
“Iya, iya aku denger kok”. Dengus ku sambil mengusap-usap telinga ku.
“Kamu nyari siapa?”. Tanya Mia lagi.
“Ntar aku jelasin, sekarang aku mesti segera”.
Aku langsung meninggalkan Mia yang melongok tidak mengerti dibelakang ku. Aku berhasil keluar dari aula dan dengan cepat berjalan melewati ratusan mata yang memandang ku dengan pandangan jijik dan tidak suka. Sepertinya mereka masih menganggap ku berpenyakit mematikan dan sangat menular. Tapi sekarang bagi ku itu tidak terlalu penting dibandingkan urusan ku dengan Wulan. Namun langkah ku terhenti saat seseorang mencegat langkah ku didepan kelas III IPA2.
“Kak Elang?!”. Seru ku terperanjat.
“Apa aku hantu?”. Katanya datar.
“Ah maaf, aku kemari mencari Wulan”.
Jeda sejenak. “Aku ingin bicara”. Ujarnya kemudian.
Kak Elang menarik tangan ku menjauh dari kelasnya. Menyeret ku dengan setengah memaksa menuju ruang lab biologi yang sepi. Ya ampun kak Elang mau apa?. Batin ku. Sampai didalam ruang lab, kak Elang mendudukan ku disalah satu kursi terdekat yang bisa dia jangkau. Dia sendiri duduk diatas meja. Aku hanya bisa menunduk tidak berani memandang tatapannya yang setajam mata pedang.
“Kamu sudah ingat?”. Tanya kak Elang tiba-tiba.
“Maksudnya?”. Aku balas bertanya tidak mengerti.
“Apa kamu udah nggak inget lagi dengan Nicky?”.
“Maksud kakak cucu utama Ma__”.
“Jangan menyebut julukannya, sebut namanya”. Ucapan kak Elang tegas dan jelas. Sepertinya dia memang tidak suka dengan kehadiran cucu utama Mahendra di sekolah ini. Terlihat jelas dari raut wajahnya.
“Jangan diam, aku menunggu jawaban mu”.
Aku sedikit terkejut. “Aku sama sekali nggak ngerti”. Ucap ku lirih.
Tiba-tiba kak Elang mengusap kepala ku. “Ternyata kamu emang bener-bener udah lupa ya?”.
Nggak kak, aku nggak lupa, tapi aku bener-bener nggak inget apapun. Batin ku pedih. Aku memejamkan mata berusaha mencari petunjuk, tapi kepala ku malah terasa pusing karena berusaha keras mencari petunjuk yang aku sendiri tidak tahu petunjuk apa yang aku cari. Tanpa sadar aku menggeleng-gelengkan kepala ku dengan sedikit keras.
“Jangan buat dirimu tersiksa lagi”. Kata kak Elang mengingatkan.
“Maaf kak, aku emang bener-bener nggak ngerti dengan semua permasalahan ini. Bagi ku semua bener-bener belum jelas”.
“Semua akan jelas pada saatnya nanti”.
“Tapi kapan?”.
Jeda. Hanya terdengar burung bernyanyi riang diluar sana.
“Kapan semuanya akan jelas?”. Air mata ku perlahan mulai menetes.
“Jangan menangis lagi. Aku sakit melihat mu menangis. Jangan kamu paksakan, kamu mau aku beri satu petunjuk?”.
Aku mendongak menatap matanya yan teduh. “Jangan kak, ntar kakak susah”. Aku teringat dengan kata-kata tante Imel. Tidak ada yang boleh membicarakan sesuatu hal yang tidak seharusnya dibicarakan, karena tuan besar Mahendra tidak segan-segan memusnahkan apa yang tidak Ia sukai tanpa pandang bulu. Dan aku tidak mau membuat kak Elang mengalami hal itu hanya gara-gara dia memberikan aku petunjuk agar aku mengerti semuanya. Bisa saja petunjuk itu adalah sesuatu yang tidak boleh dibicarakan. Bagaimana kalau ada mata-mata disini.
“Nggak akan ada yang menyusahkan ku”. Ucap kak Elang lembut.
“Bagaimana dengan tuan besar?”. Kak Elang mengernyit mendengar ku menyebut kakek dengan sebutan tuan besar. “Tante Imel udah ngejelasin aku semuanya. Tapi mungkin belum semua, hanya sebagian yang perlu aku ketahui aja”.
“Tentang persaudaraan kita?”.
Aku mengangguk pelan.
“Tanggapan mu?”.
“Aku sebenernya senang sekali mendengar bahwa ternyata aku mempunyai saudara seperti kak Elang. Apalagi saudara kembar”. Aku tersenyum disela-sela air mata ku.
“Saudara kembar?”. Gumam kak Elang pelan. Dan anehnya dia terlihat heran.
“Iya saudara kembar”. Tegas ku sambil menganggukkan kepala mantap.
“Tapi aku....ah udahlah, jangan terlalu dipikirkan”.
“Apa Aldi tahu semuanya?”. Tanya ku lirih.
“Hmmm...ku rasa dia tahu”. Jawabnya. “Udahlah, mendingan sekarang kamu balik ke kelas. Tenangkan pikiran dan hati mu. Jangan memaksakan sesuatu diluar kemampuan mu”.
“Baik kak”. Aku berdiri lalu berjalan meninggalkan kak Elang yang duduk sambil menundukkan kepala melihat kelantai.
“Tapi ingat”. Ucapannya menghentikan langkah ku. “Jangan terlalu mikirin masalah Wulan lagi. Biar aku yang beresin”.
Aku menganggukkan kepala, lalu beranjak meninggalkannya yang masih menatap ku sampai hilang dari pandangannya.
Aku berjalan menyusuri koridor yang sepi. Mungkin jam pelajaran kedua sudah dimulai karena jam pelajaran pertama digantikan dengan acara penyambutan cucu uama Mahendra. Hati ku benar-benar galau saat ini. Kebenaran ini sungguh membuat ku bingung. Sepertinya aku benar-benar harus memeras otak untuk memikirkan jalan keluarnya. Semuanya seperti saling bertabrakan dan terpisah satu sama lain sehingga aku harus mencarinya dengan usaha ku sendiri. Terlebih sekarang aku tahu kenyataan bahwa sebenarnya aku sedang amnesia, dan yang lebih buruk lagi adalah karena aku tengah mengidap kanker stadium lanjut. Tapi aku tidak boleh menyerah, sebelum penyakit ini merampas semuanya, aku harus bisa menyelesaikan urusan ku didunia, karena aku tidak mau mati dalam ketidaktahuan seperti orang bodoh. Aku terus berjalan menyusuri koridor menuju kelas dengan semangat yang penuh. Ini ku lakukan juga karena bunda dan adik ku tercinta Tata serta ditambah lagi ada tante Imelda yang selalu mendukung ku. Tiba dipersimpangan koridor menuju kelas langkah ku terhenti karena mendengar suara dua orang sedang berbisik. Sepertinya mereka sedang berbicara masalah serius hingga harus berbisik seperti itu, terlebih lagi suara mereka seperti sedang bertengkar. Aku merapatkan diri ditembok yang tidak jauh dengan mereka.
“Itu bukan urusan mu”. Kata suara pertama dengan tegas.
“Tentu saja itu adalah urusan ku juga!”. Kata suara kedua yang sangat ku kenal. Karena itu jelas terdengar sebagai suara Aldi. Tapi yang jadi pertanyaannya, dia sedang bertengkar dengan siapa?
“Bukankah peran mu hanya sebagai penghubung untuk saat ini?”. Orang pertama kembali menegaskan kata-katanya.
“Yang jelas aku bukan penghubung mu cucu utama Mahendra!”. Kata Aldi tidak kalah tegasnya.
Cucu utama Mahendra? Jadi Aldi sedang bertengkar dengan Nicky. Apa yang menyebabkan mereka bertengkar?
“Jangan kau usik dia lagi”. Aldi kembali memperingatkan.
“Sekali lagi aku tegaskan, itu bukan urusan mu!”. Seru Nicky dalam teriakan tertahan.
“Dasar aneh, dulu kamu sama sekali tidak memperdulikannya. Tapi sekarang malah mencarinya hingga kamu mau pindah dari istana mu yang nyaman di Amerika sana”.
Jeda
“Dia sama sekali nggak butuh rasa belas kasihan mu!”. Kata Aldi lagi.
“Sudahlah, percuma aku bicara dengan orang yang sok tahu seperti mu”. Nicky melepaskan cengkraman tangan Aldi pada kerah kemejanya.
“Dia nggak butuh kamu, dia sekarang bersama Elang”.
Nicky mengentikn usahanya merapikan kemejanya mendengar nama Elang disebut.
“Elang kata mu? Apa haknya? Aku lebih berhak daripada dia”.
“Jangan pernah menyebut hak mu disini karena sama sekali kamu nggak punya hak atas dirinya. Cukup kamu lihat dia dari jauh. Bukankah cucu utama Mahendra nggak mau kalau tangannya kotor menyentuh masa lalunya yang pahit?”. Cecar Aldi sinis.
“Elang bukan apa-apa untuknya”.
Aldi memicingkan matanya benci. “Setidaknya Elang berani melindunginya wlaupun mempertaruhkan nyawanya sekalipun”.
Jeda
“Hey, ada apa ini?”. Sepertinya orang ketiga tengah hadir diantara mereka. Dan suara ini adalah suara cewek yang sangat aku kenal. Wulan!
“Apa kalian nggak takut terlihat oleh anak-anak lain?”. Wulan memperingatkan.
“Kami hanya main-main”. Balas Nicky sekenanya.
“Aku nggak bodoh! Kalian hanya meributkan sesuatu yang nggak penting. Kalau ini sampai diketahui oleh kakek, kalian bisa mati!”. Wulan menekankan telunjuk pada lehernya.
“Aku akan kembali ke kelas”. Kata Aldi sambil berlalu pergi.
“Sebaiknya begitu”. Tanggap Wulan. “Dan sebaiknya kakak kembali ke ruang kepala sekolah, beliau sudah menunggu”. Kata Wulam memperingatkan Nicky.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Nicky bejalan dan tanpa sadar telah melewati ku yang tengah menahan nafas melihat dia berjalan kembali dengan langkah cepat menuju ruangan kepala sekolah.
Saat kak Nicky menghilang dipersimpangan kedua. Aku behasil mendapatkan kembali nafas ku. Ku lihat Wulan juga sudah menghilang dikoridor. Aku berusaha menata hati ku yang sedikit bingung dengan kejadian yang beruntun pagi ini. Semuanya begitu mengejutkan dan mengherankan. Banyak hal yang tidak bisa aku jelaskan dengan akal ku. Bahkan aku juga bingung dengan segala masalah yang ku hadapi sekarang. Ini seperti teka teki yang harus ku jawab. Otak ku benar-benar harus berpikir keras untuk menemukan jawabannya. Sebaiknya nanti jam isttirahat akan ku bicarakan dengan Mia. Ku urungkan niat ku untuk bicara lagi dengan Wulan.
Kendatipun jam istirahat datang, aku sama sekali tidak membicarakan masalah tadi dengan Mia. Aku hanya duduk termenung dalam diam. Aku benar-benar tidak tahu harus memulai darimana. Akhirnya aku memilih menuunggu waktu yang tepat untuk membbicarakannya dengan Mia dan tentunya Aldi juga harus ikut karena dia juga tahu segalanya. Semoga saja Aldi mau jujur. Tapi bukankah itu jug akan menyulitkan Aldi? Ah tidak boleh, aku juga tidak boleh menyulitkan Aldi sama halnya dengan kak Elang. Yang sekarang aku bingungkan adalah hubungan ku dengan Nicky. Kenapa tiba-tiba kak Elang menyebut-nyebut Nicky dalam masalah ini, itu sama sekali belum terpecahkan.
“Ngapain Non? Perasaan dari tadi ngelamun terus?”. Mia mengejutkan ku dengan petanyaannya.
“Ah nggak kok”. Aku segera berpura-pura memakan roti panggang didepan ku.
“Ya udah”. Mia mengedikkan bahunya.




Pagi ini begitu cerah. Matahari kali ini menang, tidak terselimuti awan mendung lagi. Aku akan menyambut pagi ini dengan senyum seramah mungkin. Aku memang masih merasa sakit dengan kejadian kemarin. Tapi aku sudah berjanji untuk tidak akan mundur untuk meraih senyum dan semangat ku. Aku tidak ingin menikmai detik-detik terakhir ku dengan cara meringkuk didalam kamar. Itu bukan aku namanya. Aku adalah Nani Amelia Putri, Putri dari Erlangga Syaputra dan Retno Amelia, tidak akan pernah menyerah dalam hal apapun karena aku tidak pernah diajarkan oleh orang tua ku untuk mengalah jika memang merasa benar.
Aku berjalan memasuki pintu utama sekolah setelah sebelumnya memarkirkan motor dibelakang gedung sekolah. Ku genggam erat hasil CT SCAN yang ku bawa dari dokter Irfan kemarin, ku minta arsip yang dokter Irfan sudah tidak pakai lagi.
“Untuk apa kamu minta ini Na?”. Tanya dokter Irfan sambil menyerahkan arsip hasil pemeriksaan CT SCAN ku bulan lalu sebelum operasi.
“Hmmm..untuk main-main”. Jawab ku tenang sambil tersenyum.
“Main-main?”. Dokter Ifan mengernyitkan alis.
“Ya udah dok, aku pamit dulu ya”. Aku berdiri dan mengulurkan tangan kepada dokter Ifan dan dokter Irfan membalas menjabat tangan ku dengan ekspresi masih keheranan.
“Hati-hati”.
“Makasih dokter!”.
Aku berjalan menuju kotak mading di koridor utama sekolah. Segera ku tempelkan hasil CT SCAN ku diruang kosong dalam mading yang beuliskan :
NANI AMELIA PUTRI
MENDERITA KANKER OTAK
BUKAN PENYAKIT MENULAR

Aku tersenyum puas melihat hasil kerja ku semalam, bahkan bunda dan Tata keheranan dan bingung melihat aku menulis kata-kata itu. Saat bunda tanya itu unuk apa, ku jawab santai ini hanya untuk main-main. Kebetulan mading belum terbit untuk minggu ini jadi masih ada banyak tempat untuk hasil CT SCAN ku yang cukup besar. Sebenarnya aku tahu ini akan menimbulkan kehebohan besar di sekolah, tapi yeach..aku sudah bosan menerima pandangan jijik mereka apabila melihat ku.